Di Puncak Gunung Penanggungan, Tak Ada Mistis di Pohon Nangka

Di Puncak Gunung Penanggungan, Tak Ada Mistis di Pohon Nangka

Enaknya bersantai di puncak Gunung Penanggungan. Dari tempat saya duduk itu, terlihatlah bayangan Gunung Welirang yang indah.--

Mendaki bersama beberapa kawan ke Penanggungan. Melewati beberapa pos dan areal pepohonan. Sungguh, jalur pendakian Penanggungan tak boleh dilewatkan oleh para pecinta alam. Rutenya seru dan pemandangan ketika sampai di puncak sangat menawan. Rasa lelah terbayar.

Berangkat Sabtu malam pukul sembilan. Dari rumahku di kawasan Pucang, Surabaya, aku bersepeda motor bersama lima kawan. Sebagian besar alumni Untag Surabaya. Hanya aku saja yang masih berstatus mahasiswa.

Tujuan kami satu: mendaki. Aku dan kelima kawanku ini memang gandrung dengan pendakian. Bagi kami, gunung memberi sensasi petualangan yang memicu adrenalin. Jalan menanjak, berbatu, licin, curam, atau cerita-cerita mistis yang menyelimuti. Malah membuat kami semakin tertantang.

Sepanjang jalan cukup lengang. Hanya satu jam perjalanan yang kami tempuh. Dari Surabaya menuju kawasan Trawas, melewati areal Candi Jolotundo terus ke barat. Jalanan terus menanjak. Kami sampai di pos pendaftaran Tamiajeng pukul 10 malam. 

Di pos pendaftaran tersebut kami melakukan pendataan. Ada dua petugas yang mencatat. Untuk melakukan pendakian, tiap orang wajib membayar Rp10 ribu. 

Petugas menjelaskan tentang peraturan pendakian. Tidak boleh membuang sampah sembarangan. Jika berjalan berkelompok seperti kami, jangan sampai terpisah. Usahakan agar selalu bersama.

Sebelum mendaki, kami meluangkan waktu untuk beristirahat sambil ngopi di warung sebelah pos pendaftaran. Tentu sambil cek barang bawaan lagi. Di pos pendaftaran itu terdapat sumber air gunung. Bisa diminum langsung. Kami mengisi botol air mineral.
Tersenyum untuk melepas lelah usai mendirikan tenda di puncak bayangan.-MIFTAKHUL ROZAQ/Harian Disway-

Pukul 12 malam, kami mendaki. Jalur awal cukup landai. Melewati tetumbuhan di kanan-kiri serta beberapa tanaman bambu. Batang-batangnya saling bergesekan. Memecah keheningan.

Lampu senter kami menyorot ke bawah. Menyinari setapak yang kami lewati. Di kalangan para pendaki, ada larangan untuk tidak mengarahkan sorot senter ke atas. Karena sama saja dengan isyarat meminta tolong. Khususnya bagi pendaki yang cedera atau tersesat.

Larangan itu dibubuhi dengan cerita mistis pula. Konon jika lampu senter diarahkan ke atas, menyorot pohon, maka penunggu pohon akan terganggu. Memang kisah mistis selalu ada dalam setiap peraturan. Kalau tidak begitu, masyarakat tidak akan nurut.

Dari pos pendaftaran, pos pertama ke pos kedua, jarak tempuhnya sekitar 25 menit. Di pos kedua terdapat warung kopi. Lagi-lagi kami melepas lelah sejenak. Kami sempat bercengkerama dengan penjaga warung.

Namanya Pak Wagi. Sudah delapan tahun ia menjaga warung kopi bersama istrinya, Kusniati. Di sana disediakan beraneka ragam gorengan yang nikmat. Cocok untuk menghalau hawa dingin lereng gunung.

Setelah cukup kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke pos ketiga. Sama, jarak tempuhnya sekitar 25 menit. Ketika berjalan, kami menemukan pohon nangka yang cukup besar. Pohon itu cukup terkenal di kalangan para pendaki.

Lagi-lagi cerita mistis. Ada penunggunya. Katanya, bila apes, pendaki yang beristirahat di bawah pohon itu akan menemukan penampakan. Atau suara berdebum seperti buah nangka jatuh. Tapi tak ada apa-apa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: