Monolog ”Panggil Aku Gombloh” oleh Wanggi Hoediyatno; Mewujudkan Asa Sang Legenda Surabaya
Penghayatan Wanggi Hoediyatno yang maksimal untuk memerankan Gombloh yang berkumis tebal dan berperawakan kurus sepertinya.-YOSE RIANDI untuk Harian Disway-
Panggil Aku Gombloh versi film pertunjukan tayang Rabu, 24 Agustus 2022, pukul 20.00, di Indonesiana TV dan kanal YouTube Budaya Saya. Sebelumnya monolog itu dipentaskan secara live di Gedung Kesenian Jakarta, April lalu. Di tangan sutradarai Yosep Anggi Noen, akting Wanggi Hoediyatno makin teruji.
Sorot kamera mengawali dari bagian atas. Kemudian turun mendekati sosok Gombloh yang sedang tertidur pulas. Radio di sebelah kepalanya tiba-tiba berbunyi. Terdengar dendang lagu hits Kugadaikan Cintaku.
Gombloh terbangun dengan ekspresi tidak suka. ”Berisik! Berisik!,” teriaknya. Lantas memegang radio itu. Ia membawanya berputar-putar dan ingin membantingnya. Tapi tidak jadi.
Saat itulah Gombloh berbicara dengan dirinya sendiri. Bahwa lagu itu adalah salah satu bentuk penggadaian idealisme. Sesuatu yang baru dilakukannya demi keluarga.
Penampilan Wangi Hodiyatno yang memerankan Gombloh dalam versi film pertunjukan Panggil Aku Gombloh yang disutradarai Yosep Anggi Noen. -YOSE RIANDI untuk Harian Disway-
Ia mengeluh karena setelah berumah tangga, tidak bisa lagi menjadi seniman idealis. Sorot kamera menampakkan ekspresi Gombloh yang muram. Lighting perlahan redup. Sayu. Antara idealisme dan kebutuhan keluarga. Itulah dilema besar dalam batin Gombloh.
Namun dengan Wiwiek, istrinya, Gombloh benar-benar jatuh cinta. Ia mengenang masa lalunya ketika bertemu pertama kali dengan gadis asal Blitar itu. ”Kaulah kuntum mawar desa!,” teriak aktor Wanggi sembari berlutut dengan tangan menengadah.
Muncullah tembang Mawar Desa karya Gombloh. Lagu itu ada dalam album kedua Gombloh berjudul sama. Sebagai ekspresi kekagumannya kepada Wiwiek, gadis desa yang kelak menjadi istrinya.
Itulah gambaran sepenggal adegan Panggil Aku Gombloh versi film pertunjukan. Buat Wanggi yang memerankan Gombloh bermain teater sudh tak asing. Ia jebolan jurusan Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau sekarang Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) di Bandung.
Dua kali berakting menjadi pengalaman berharga untuknya. Setidaknya setelah 12-13 tahun ia berteater tanpa kata-kata akhirnya ia tampil berkata-kata. ”Saya sekian lama jadi aktor pantomim. Baru dalam pementasan Gombloh saya bersuara,” ujarnya.
Tantangan terbesar memerankan monolog produksi Titimangsa Foundation bagi Wanggi adalah berdialek dan berlogat Surabaya. ”Tantangan lainnya, saya harus memainkan gitar di atas panggung,” ujar pria 34 tahun itu.
Untuk menyiasatinya, sutradara pementasan live Joind Bayuwinanda mematok durasi sekitar 40-50 menit saja. Bertujuan untuk mengurangi beban hafalan naskah setebal 20 halaman. Selain itu ia menuntut Wanggi berlatih memainkan lagu-lagu Gombloh.
Untuk memerankan Gombloh yang pandai memainkan gitar, Wanggi Hoediyatno juga belajar bermain alat musik yang selalu ditenteng sang penyanyi dalam setiap penampilannya. -YOSE RIANDI untuk Harian Disway-
Isi naskah yang memuat berbagai diksi dan karakter khas Suroboyoan, terpaksa dipotong beberapa oleh sastrawan Agus Noor yang menafsir naskah terhadap suasana pemanggungan berdasarkan naskah yang ditulis Guruh Dimas Nugraha, jurnalis Harian Disway. Begitu pun beberapa adegan yang dikemas sesuai interpretasi Joind.
Sebagai Gombloh yang identik dengan batuk karena masalah paru-parunya sejak kecil, Wanggi harus berbicara terbatuk-batuk. Namun itu berdampak pada ketidakstabilan vokal. Power vokal bisa jadi melemah. Sehingga jika diterapkan dalam situasi panggung dengan durasi pentas yang cukup panjang, belum sampai akhir suara aktor bisa habis.
Kemunculan monolog penyanyi kelahiran Jombang yang besar di Surabaya versi film itu direspons beberapa pihak. Di antaranya fans Gombloh yang tergabung dalam Lemon Tree's Gombloh Lovers (Mogers).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: