Monolog ”Panggil Aku Gombloh” oleh Wanggi Hoediyatno; Mewujudkan Asa Sang Legenda Surabaya

Monolog ”Panggil Aku Gombloh” oleh Wanggi Hoediyatno; Mewujudkan Asa Sang Legenda Surabaya

Penghayatan Wanggi Hoediyatno yang maksimal untuk memerankan Gombloh yang berkumis tebal dan berperawakan kurus sepertinya.-YOSE RIANDI untuk Harian Disway-

Kelik Nugroho mengapresiasi tentang musiknya yang bagus. ”Dinyanyikan secara langsung dan begitu mengena,” ungkap penulis buku Tiga Dekade Musik Indonesia itu. 

Enda Kombet, musisi yang juga fans Gombloh dari Jawa Barat itu, mengapresiasi positif. ”Saya kagum, terutama tentang cerita Gombloh yang mencoba mengentaskan para PSK. Dia berbuat banyak hal baik dari segi kemanusiaan,” terang personel grup Debu itu.

Sebaliknya Wowok Paramatatwa, fans Gombloh asal Tuban yang pernah memenangkan lomba nyanyi vokal mirip Gombloh pada 1988, mengkritisi. Ia menganggap sosok Gombloh kurang mengena. ”Ada hal-hal baik dan lucu yang banyak dilakukannya yang termuat dalam buku Gombloh: Revolusi Cinta dari Surabaya karya Guruh Dimas Nugraha. Tapi tidak tertampung dalam pertunjukan,” kritiknya.

Sementara tokoh seni pertunjukan Surabaya Heri Lentho berpendapat bahwa sosok Gombloh yang diperankan Wanggi -aktor asal Bandung- membuat sisi Suroboyo-nya luntur. ”Dari dialek, logat, kurang menampilkan sosok Gombloh yang medok Suroboyo,” ungkapnya.

Namun interpretasi bersifat bebas. Yang pasti bagi Wanggi, pementasan itu sangat mengesankannya. Ia tak mengira dipercaya Titimangsa Foundation sebagai aktor utama monolog Gombloh.

Saat itu Wanggi memang sedang berkumis tebal. Seperti kumis musisi pencipta lagu Kebyar Kebyar. Tebal dan tak beraturan. Baplang. ”Saya mulai dilirik Joind pada Maret 2021. Saat ketemu, ia menyuruh saya agar tidak mencukur kumis,” ungkap Wanggi.

Wanggi pun mengagumi Gombloh sebagai seniman sederhana, antiglamor dan memiliki kepedulian tinggi. ”Yang saya baca, Gombloh pada zamannya ingin menghapuskan prostitusi. Tatanan dunia tanpa prostitusi memang harapan Gombloh yang tak tercapai. Bahkan hingga saat ini,” ujar Wanggi.

Diproduksi bersama sejumlah monolog yang lain, Panggil Aku Gombloh adalah bagian seri monolog Di Tepi Sejarah. Ada tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia -tak hanya tokoh politik tapi juga seniman- yang diangkat.

Terutama tokoh yang jarang, bahkan mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia. ”Meski begitu, justru mereka adalah orang-orang yang berada dalam pusaran sejarah utama dan menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia,” ujar Happy Salma, produser pementasan dan leader Titimangsa Foundation.

Buat Guruh Dimas Nugraha sendiri, ia bangga Gombloh bersanding dengan tokoh Sjafruddin Prawiranegara (Kacamata Sjafruddin), Kassian Cephas (Mata Kamera), Ismail Marzuki (Senandung di Ujung Revolusi), dan Emiria Soenassa (Yang Tertinggal di Jakarta.

Setidaknya monolog itu menjadi perwujudan kata-kata Gombloh sendiri, sang legenda dari Surabaya; ”Kenanglah aku sebagai pencetus revolusi cinta dari Surabaya.” Sebagaimana dialog akhir Panggil Aku Gombloh. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: