Catatan dari Pameran Seni Lukis Nasional ”Bias Borneo” (2); Ayo Jadi Urang Banjar Jua

Catatan dari Pameran Seni Lukis Nasional ”Bias Borneo” (2); Ayo Jadi Urang Banjar Jua

Suasana pameran Bias Borneo yang diikuti 100 perupa dari seluruh Indonesia di Taman Budaya Kalimantan Selatan.--

Jika menilik pendapat antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Setia Budhi PhD saat diwawancarai jejakrekam.com, meskipun disepakati bahwa secara teori dan penelitian bahwa Urang Banjar adalah orang Dayak namun sesungguhnya Urang Banjar adalah percampuran dari sejumlah suku di Indonesia.

Urang Banjar adalah kumpulan sub-sub suku yang bermukim atau berada di muara sungai. Etnis ini merupakan akumulasi dari perpaduan banyak puak suku; Dayak, Melayu (Sumatera), Bugis, Jawa, dan lainnya.

Mengacu pada pendapat Setia Budhi inilah spirit Bias Borneo sesungguhnya membentangkan jangkauan perhelatan seni rupa ini menjadi milik Indonesia. Bila harus ditengara dari karya dan asal daerah, Bias Borneo tak membatasi lagi siapa Urang Banjar yang harus terlibat. 

Apalagi dalam sebuah ”ibadah seni rupa”; istilah yang sering dipakai teman-teman Yogyakarta yang saya kenal untuk menyebut pameran seni rupa.

Dari rupa karya yang ditampilkan, Bias Borneo toh tak selalu melulu bicara Kalimantan. Edy Marga (Surabaya) pun melukis Reog Dance. Ada Ekspresi Borobudur karya Ahmad MUzayin (Semarang). Bahkan Perahu Sisi Suramadu sah-sah saja dibawa  Kak Herry (Surabaya).

Mereka ada di tengah-tengah karya yang berbau Borneo orisinal dan saklek. Ada suami istri pelukis Nanang Ramli dan Lisda Karmila yang melukis Dayak Borneo dan Legendary Dancer. Muslim Anang Abdullah sendiri yang orang Banjarbaru, melukis Tarian Leluhur. Burung Enggang dan Bekantan dilukis Eko Budiono (Banjarbaru), atau Eko Purnomo (Yogyakarta) yang menyertakan Putri Junjung Buih.
Nanang Ramli dan istrinya Lisda Karmila -suami istri pelukis- dari Kapuas di samping kedua karya mereka yang berbau khas Borneo.

Dengan analisis ethnoscience yang saya pakai -sebagai lulusan Jurusan Antropologi UNAIR- ada telaah implisit untuk mengidentifikasi sebuah suku bangsa lewat perilaku atau kebudayaannya. Dalam etnosains itu, kebudayaan bisa dideskripsikan menurut pemikiran masyarakatnya. 

Beropatokan itu, Bias Borneo –menurut saya- adalah kearifan lokal yang punya spirit mengglobal. 

Bagaimana yang lokal mengglobal? Kalau tak mau klise, Bhinneka Tunggal Ika didengungkan sejak negeri ini berdiri ya karena nilai kelokalan yang sangat beragam sangatlah tak mungkin untuk dipunyai sendiri. 

Demikian pula menjadi Urang Banjar. 

Bias Borneo -bagi saya yang datang jauh-jauh menengoknya dari Surabaya- tak ada segan untuk merasa bahwa saya Urang Banjar jua. Kalau Jawa menjadi irisan pembentuknya, maka saya menyilakan diri menjadi Urang Banjar seperti sekian puluh perupa dari luar Borneo yang merasa sah menjadi bagiannya.

Eloknya, Bias Borneo memberi jalan masuk itu buat setiap orang. Ayo datangan. (Redaktur Harian Disway, Penulis, Humas Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Jatim)

Pertalian-pertalian dalam lingkaran perupa di luar Kalimantan Selatan, baca selanjutnya… 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: