Dengan Sanggar Karno Laras, Bedjo Santoso Gratiskan Anak-anak Dusun yang Mau Mencintai Budaya
Penampilan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar Karno Laras saat pentas di Balai Dusun Karang Nongko, pada peringatan 17 Agustus 2022.--
PASURUAN, HARIAN DISWAY - Sanggar Karno Laras di Gempol, Pasuruan, adalah sanggar karawitan yang beranggotakan anak-anak. Meskipun termasuk Gen-Z yang lahir pada zaman serbacanggih, mereka diajak nguri-uri budaya.
Lancaran Giro Kotek mengalun lembut. Terdengar dalam ruang bekas gudang di Dusun Karang Nongko, Desa Jeruk Purut, Kecamatan Gempol, Pasuruan.
Tembang itu lumayan rumit. Apalagi dimainkan dengan nada gamelan slendro. Ibarat sistem nada Barat, gamelan slendro memiliki kecenderungan pentatonis. Berbeda dengan nada lazim diatonis.
Nada diatonis dalam gamelan Jawa dimainkan menggunakan alat pelog. Terdiri dari tujuh tangga per oktaf yakni ji, ro, lu, pat, mo, nem, tu (1,2,3,4,5,6,7).
Bedjo Santoso sedang menunjukkan tangga nada gamelan Jawa pada para muridnya.
Sedangkan pentatonis slendro hanya memiliki lima nada dalam satu oktaf. Yakni ji, ro, lu, mo, nem. Tanpa nada 4 dan 7. ”Ayo, tempo kendangnya harus betul. Jangan meleset. Nem, mo, nem, mo,” ujar Bedjo Santoso, pengajar.
Tak mudah untuk Bedjo melakukannya. Sebab para pemain yang dibimbingnya masih anak-anak, berusia antara 7 hingga 12 tahun.
”Tapi saya telateni karena mereka tak seperti bocah masa kini yang sibuk dengan gawai dan introvert. Mereka mau bermain gamelan yang melatih kebersamaan dan kekompakan. Dengan gamelan kemampuan bersosialisasi dalam diri mereka terbentuk,” beber Bedjo.
Bedjo mendirikan Sanggar Karno Laras pada Februari 2022. Berawal dari rasa kepedulian terhadap eksistensi budaya Jawa. Namun ia ingin mengajak anak-anak untuk merawat budaya tersebut.
Para pemain gamelan Sanggar Karno Laras yang terdiri dari anak-anak berusia 7-12 tahun dari Dusun Karang Nongko.
Insitiatifnya itu didukung pengusaha kuliner setempat Abdul Su’eb yang meminjamkan ruang gudang di kediamannya untuk sarana berlatih.
Tentang nama, Karno diambil Bedjo untuk meringkas Karang Nongko, nama dusun tempat tinggal mereka. Laras diterjemahkan sebagai bunyi-bunyian yang harmonis.
Karno dalam bahasa Jawa artinya telinga. Istilah itu diambil dari bahasa Sansekerta karna. ”Jadi bunyi-bunyian yang terdengar harmoni di telinga. Atau bisa juga belajar harmonis lewat telinga,” ungkap Bedjo.
Untuk mengumpulkan anak-anak yang mau bergabung di sanggarnya, Bedjo harus bersabar. Ia lebih dulu meyakinkan para orang tua agar mau membawa anaknya untuk berlatih gamelan. ”Ada orang tua yang enggak setuju,” terangnya.
Yang setuju adalah orang tua yang memiliki keinginan agar anaknya punya aktivitas di luar rumah. ”Punya kawan, bersosialisasi, dan sebagainya. Yang paham pasti berpikir bila anaknya tak diberi kegiatan bisa-bisa cuma main smartphone,” katanya.
Untuk jadi anggota sanggar, Bedjo tak memungut iuran. Free alias gratis. Malah untuk makan-minum saat latihan, Bedjo sering merogoh koceknya sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: