Dengan Sanggar Karno Laras, Bedjo Santoso Gratiskan Anak-anak Dusun yang Mau Mencintai Budaya

Dengan Sanggar Karno Laras, Bedjo Santoso Gratiskan Anak-anak Dusun yang Mau Mencintai Budaya

Penampilan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar Karno Laras saat pentas di Balai Dusun Karang Nongko, pada peringatan 17 Agustus 2022.--

”Karena ini kerja kepedulian. Bagaimana membangkitkan minat generasi muda terhadap gamelan. Mereka ini generasi penerus. Kalau bukan mereka yang nguri-uri, siapa lagi?,” ujarnya.
Bedjo Santoso sedang mengajar anak-anak tembang-tembang Jawa, berikut cara memukul tiap logam dalam gamelan.

Sayang gamelan yang dipunyai sanggar masih slendro. Belum punya pelog. Itu pun pinjaman. ”Dulu saya melatih gamelan di Dusun Sejo, Desa Karang Rejo, Pasuruan. Setelah lama vakum, saya meminjamnya. Diboyonglah gamelan itu ke tempat ini,” terang pria 54 tahun itu.

Dengan gamelan slendro, maka lagu-lagu yang bisa dimainkan kebanyakan hanya yang laras slendro. Namun menurut Bedjo, jika ingin memainkan lagu bernada pelog menggunakan slendro, tetap dapat dilakukan. Tentunya dengan kreativitas. 

Seperti Ilir-ilir yang biasanya hanya dimainkan dengan gamelan pelog, bisa juga dimainkan dengan gamelan slendro. ”Asal paham nadanya. Pitu-nya pelog sama dengan siji-nya slendro. Lalu diolah. Tembang seperti Manyar Sewu bisa juga dimainkan dengan slendro,” ungkapnya.

Membimbing anak-anak kecil tentu gampang-gampang susah. Untung, selama mengajar, Bedjo didampingi istrinya, Sumiyati. ”Kebetulan meskipun asli Bengkulu, dia gemar gamelan. Dia juga telaten mengajari anak-anak,” terang ayah dua anak itu.
Tak hanya cara memainkan gamelan, namun dalam Sanggar Karno Laras, anak-anak diberitahu tentang etika dalam bermain, seperti posisi duduk pun diperhatikan. 

Salah satu kesulitan mengajar gamelan kepada anak-anak adalah membiasakan diri dengan perangkat gamelan. ”Pola pukulan, lalu setelah dipukul, logamnya dipegang dengan jari tangan kiri agar tak menggema. Kalau tak biasa, memang rumit,” ungkapnya.

Selain memperhatikan permainan, Bedjo sendiri ketat dalam menerapkan etika Jawa dalam bermain gamelan. Seperti posisi duduk yang memang harus silo atau bersila. Namun gaya duduk anak-anak sering kali secara spontan berubah. 

”Kadang-kadang mengangkat satu kaki seperti sedang duduk di warkop. Malah kadang jigrang atau satu kakinya ditumpukan di kaki lainnya. Itu dalam etika bermain gamelan tidak diperbolehkan. Dianggap tidak sopan,” tambahnya.

Jadi sudah biasa bila Bedjo sering mengingatkan anak-anak tentang silo. Seperti ketika ia mengingatkan Muhammad Verrel Dwi Firmansyah yang berusia 7 tahun berubah duduknya saat berlatih.

Sanggar Karno Laras telah beberapa kali pentas. Terakhir pentas pada Agustusan 2022 beberapa waktu lalu. Saat itu terdapat bazaar UKM di balai dusun setempat yang dihadiri Lurah H Slamet.

Kepala Desa Jeruk Purut merasa terkesan dengan penguasaan anak-anak dalam memainkan sekitar 10 lagu. ”Pak Lurah memberi dukungan dan meminta kami tampil dalam Musyawarah Pembangunan Desa pada 24 Agustus 2022. Saat itu beliau takjub karena anak-anak bisa membawakan dua tembang berjenis ketawangan dan lancaran,” ujarnya.

Musyawarah tersebut dihadiri lurah, camat dan tiga perwakilan dari DPRD Pasuruan. Saat camat memukul gong tanda dimulainya acara, Sanggar Karno Laras meresponsnya dengan tembang Caping Gunung.

Penampilan mereka membuat semua pemangku jabatan yang hadir terkesan. Salah seorang anggota DPRD Pasuruan Samsul HIdayat sempat mengulik eksistensi sanggar. Saat mengetahui bahwa perangkat gamelan yang digunakan masih pinjaman, Samsul berjanji. ”Katanya akan mengusahakan pengajuan anggaran untuk penyediaan gamelan. Kami berharap janji tersebut dapat terwujud,” tegasnya.

Karena kepiawaian anak-anak itu, kini Sanggar Karno Laras menerima banyak undangan untuk berpentas gamelan. Melihat hal itu, Bedjo yang telah menggeluti seni gamelan sejak ia duduk di bangku SD kelas 5 merasa bangga melihat masih ada generasi penerus setelahnya. ”Melihat anak-anak saya seperti mengingat waktu saya menjadi penabuh kendang paling muda dalam sebuah kelompok Tayuban di Trenggalek dulu,” ujar pria kelahiran Desa Dawuhan, Trenggalek, itu.

Dengan sanggar yang ia dirikan, Bedjo ingin memperjuangkan gamelan akan diminati generasi muda sejak dini. ”Agar kesenian tersebut semakin lestari meski di tengah gempuran arus budaya luar dan kecanggihan teknologi. Jangan sampai di luar negeri dilestarikan, tapi di dalam negeri diabaikan. Makanya saya mengajak anak-anak. Saya katakan pada mereka; ini budayamu, budaya leluhurmu yang adi luhung,” pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: