Tinjauan Medis Telur; Protein Tinggi Terbaik Setelah ASI

Tinjauan Medis Telur; Protein Tinggi Terbaik Setelah ASI

--

Lepas dari persoalan pro dan kontra kenaikan harganya, telur telah berperan besar melengkapi kebutuhan gizi masyarakat. Pertimbangan antara sisi manfaat dan kekurangannya, seyogianya bisa disesuaikan secara bijak dengan pola diet dan gaya hidup setiap individu secara keseluruhan. 

Dari tahun ke tahun, konsumsi telur per kapita penduduk Indonesia cenderung meningkat. Pada 2017, mencapai 18,44 kilogram per kapita per tahun. Bersamaan dengan meningkatnya produksi telur nasional, konsumsi telur masyarakat juga ikut terdongkrak. Pada 2020, telah mencapai 28,16 kilogram per kapita per tahun.

Selain praktis, telur mampu melengkapi pemenuhan gizi keluarga. Komponen makro dan mikronutrien yang terkandung di dalamnya, boleh dibilang lengkap. Tak ada gading yang tak retak, ternyata telur mungkin juga bisa memberi dampak ”negatif” bagi kesehatan.

Penyakit Alergi

Alergi merupakan respons sistem imun tubuh yang menyimpang/abnormal dan berlebihan (reaksi hipersensitivitas), terhadap suatu zat/bahan tertentu. Bagi kebanyakan orang, zat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya atau akibat yang merugikan sama sekali. Hal yang sebaliknya bisa terjadi pada seorang penderita alergi. Zat itu bisa berdampak merugikan, bahkan dapat berakibat fatal.

Dalam bidang medis, zat tersebut dikenal sebagai alergen. Selain susu sapi, kacang-kacangan, seafood dan coklat, telur merupakan alergen makanan yang tersering mencetuskan penyakit alergi.

Alergi terhadap makanan, terutama telur, lebih sering terjadi pada anak-anak  dibanding dewasa. Bagian putih telur, diketahui lebih banyak mengandung komponen  alergenik, dibanding kuning telurnya. Zat pemicu reaksi alergi yang utama itu adalah ovalbumin.  

Di sisi lain, reaksi hipersensitivitas terhadap kuning telur, kerap terjadi akibat proses kontaminasi. Walaupun seseorang mengalami alergi terhadap telur unggas, jarang sekali bereaksi yang sama terhadap daging unggasnya. Pada umumnya tidak terjadi reaksi silang antara komponen telur dengan daging ayam. Karena itu individu yang alergi terhadap telur, masih bisa mengonsumsi daging ayam. 

Manifestasi klinis alergi terhadap telur unggas cukup bervariasi. Organ sasaran yang paling sering terlibat adalah sistem pencernaan, kulit dan saluran napas. Pada kasus-kasus tertentu bisa bersifat sistemik, melibatkan berbagai organ pada saat yang bersamaan (reaksi anafilaksis). Apabila membawa dampak terjadinya kegagalan sirkulasi darah, disebut sebagai  syok anafilaksis. Tanpa tata laksana yang tepat dan cepat, kondisi yang membahayakan ini bisa berakhir dengan kematian. 

Awal dimulainya gejala klinis, sering kali terjadi dalam rentang waktu 30 menit setelah mengonsumsi telur atau makanan yang mengandung telur. Reaksi alergi tidak tergantung pada jumlah/dosis alergen dalam makanan yang dikonsumsi. Pada kulit tampak sebagai gambaran ”biduran” (urticaria) dan  pembengkakan lapisan bagian dalam kulit (angioedema).

Pola seperti ini terutama mengenai area wajah, kelopak mata dan sekitar bibir. Tidak jarang pula terjadi ruam-ruam kemerahan atau gambaran merah merona pada area wajah. 

Oral allergy syndrome (OAS) , bisa muncul dengan cepat. Dalam beberapa menit setelah kontak dengan komponen alergen dalam telur, timbul rasa gatal seputar area bibir, mulut atau tenggorok. Kumpulan gejala tersebut kerap kali mengawali gejala lainnya pada sistem pencernaan yang bisa berupa muntah-muntah, diare, serta kejang/kram perut. 

Manifestasi klinis pada saluran napas, dapat berupa bersin-bersin, hidung terasa buntu dan "meler”. Batuk atau serangan asma, bisa terjadi pula akibat alergi telur atau makanan lain. 

Dalam bentuk mekanisme yang sedikit berbeda, hipersensitivitas terhadap telur dapat menimbulkan eksim atopi pada kulit (dermatitis atopi). Kadang pula memicu keluhan seperti  penyakit mag dan diare. Tanpa pemeriksaan endoskopi yang dilanjutkan dengan biopsi (mengambil sampel jaringan) dan analisis mikroskopis (patologi anatomi), gambaran klinis seperti ini akan sulit dipastikan diagnosisnya. 

Sumber: