Puasa Kusnadi

Puasa Kusnadi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Aneh kan? Karena itu, banyak yang menganggap hasil survei tersebut tak valid. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai bulshit. Masak di daerah basis santri, partai yang berbasis Islam abangan bisa lebih memikat daripada partai yang didirikan NU? 

Pak Kusnadi pun mengaku sempat kaget dengan hasil survei itu. Tapi, suvei tersebut bukan jajak pendapat abal-abal. Yang diselenggarakan hanya untuk membangun gimmick dan membangun persepsi masyarakat.

Tapi, itu tidak salah kalau melihat realitas di masyarakat. Yang tidak semua warga yang mengaku muslim tergolong taat menjalankan ajaran agamanya. Masih banyak juga muslim yang belum menjalankan syariatnya. 

Tidak semua menjadi santri. Sebutan untuk mereka yang pernah mendapatkan pendidikan di pondok pesantren. Atau yang dalam kategorisasi Geertz masuk golongan muslim yang taat. Mereka yang selalu menjalankan syariat Islam.

Nah, di Jatim orang yang belum taat menjalankan ajaran agama pun pasti akan mengaku sebagai warga NU ketika ditanya afiliasi ormasnya. Mereka merasa menjadi NU bukan karena memiliki kartu anggota. Tapi, lebih karena pernah ikut kegiatan NU.

Mereka ini adalah warga NU amaliah. Yang setiap saat ikut agenda yasinan, tahlilan, dan salawatan. Atau setidaknya ikut acara pengajian maulid yang biasanya digelar rutin di kampung-kampung atau desa.

Bahkan, banyak warga yang masih suka mabuk-mabukan dan sebagainya. ”Mereka kalau ditanya ikut NU atau Muhammadiyah, pasti jawabnya NU. Sangat kecil kemungkinan di Jatim mereka menyebut Muhammadiyah,” ujar Kusnadi.

Penjelasan itu bisa juga sejalan dengan sejumlah riset yang dilakukan secara nasional. Sejumlah riset itu menyebutkan bahwa pada umumnya, muslim di Indonesia berafiliasi ke NU. Bahkan, ada yang menyebut jumlahnya sampai 60 persen dari jumlah penduduk di Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa. 

Alvara Research Center pernah meneliti, jumlah penduduk muslim Indonesia yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79 juta jiwa. Mereka tidak semuanya memegang kartu anggota ormas Islam yang didirikan KH Hasyim Asy’ari tersebut. Atau menjadi anggota NU secara formal. 

Penelitian itu juga menyebutkan, umat Islam Indonesia mayoritas melakukan tahlilan (83,4%), merayakan Maulid Nabi (90%), melakukan kunut saat Subuh (71,7%), ziarah ke makam ulama (48,8%), dan melakukan salat Tarawih 23 rakaat (54,1%), serta penentuan awal hari besar mengikuti rukyatulhilal (62,8%).

Semua yang disebut di atas adalah indikator amalan yang biasa dilakukan warga nahdliyin. Orang yang melakukan itu semua akan disebut sebagai berafiliasi dengan NU meski tidak memiliki kartu anggota organisasi berbasis pesantren itu.

Secara kultural, PDI Perjuangan juga bisa disebut lebih dekat dengan NU. Demikian pula orientasi kebangsaannya. NU dikenal sebagai ormas Islam yang selama ini konsisten menjaga keutuhan NKRI. Itu karena NU ikut berjuang mewujudkan kemerdekaan RI.

Saya pun setuju dengan penjelasan tersebut. Apalagi, sejak 1980-an mulai terjadi santrinisasi kaum abangan. Ada kegairahan baru di warga mantan partai aliran untuk ber-Islam. Banyak tokohnya yang pergi haji.

Karena itu, agak berlebihan jika ada narasi tentang islamofobia di negeri ini. Lha wong yang abangan saja ber-Islam ria kok? Hanya mereka lebih memilih NU sebagai afiliasi keagamaannya. Tak memilih kelompok yang suka mengafirkan muslim lainnya. (*)

 

Sumber: