Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Pelukan Pertama untuk Paman Bernard (32)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Pelukan Pertama untuk Paman Bernard (32)

Dua bersaudara: Emy Juliana dan Tim van Wijk mengapit Paman Bernard di rumahnya. Ia sedang pemulihan dari sakit jantung yang diderita. -Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Tim van Wijk sudah menemukan ibu kandungnya dua tahun lalu. Sayang, ia tak pernah menemuinyi secara langsung karena pandemi. Kini ia melangkah ke misi selanjutnya: mencari sang ayah kandung.

Searcher atau pencari orang tua kandung Yayasan Mijn Roots Rudi Sugihartono mengatakan bahwa Paman Bernard tahu banyak tentang kisah hidup Tim. Ia adalah adik kandung ibunda Tim, Elya Rosani. 

Saat datang lagi ke Indonesia bulan lalu, Sumi dan Tim menemui Paman Bernard. Apakah mereka menemukan fakta lebih banyak? Atau malah mendapat drama seperti kunjungan tahun lalu.

Kunjungan 2021 penuh dengan drama dan kebohongan. Banyak fakta yang dipelintir untuk menutupi aib keluarga. Sang bibi yang merawat Elya bermusuhan dengan dua kakak kandung Tim: Emy Juliana dan Ernes.

”Singkatnya, seluruh keluarga kacau dan serigala mengejar anak domba yang baru lahir yang tidak bersalah,” tulis Sumi di blog pribadinyi, 31 Juli 2022. Menurut Sumi, Tim seperti anak domba yang dikelilingi serigala yang menyamar sebagai keluarganya.

Momen pulang kampung 2022 bertepatan dengan libur musim panas di Eropa. Tim dan Sumi sudah mengatur jadwal pertemuan dengan Paman Bernard.


Perjalanan darat dari Jakarta ke Semarang ditempuh dengan Kereta Api oleh Sumi dan Tim. -Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Beberapa hari sebelum keberangkatan, mereka cukup kaget. Tim dan Sumi diberi tahu bahwa Paman Bernard harus berakhir di rumah sakit karena masalah jantung.

Bernard harus tinggal beberapa hari untuk observasi. Tapi, harus dibiayai. Tim dan Sumi kembali menggalang donasi melalui Connection in Action. Mereka akhirnya mendapat ongkos untuk pengobatan pamannya. Sisa uangnya juga bisa digunakan untuk tongkat jalan berkaki empat dan membangun toilet.

Dalam tulisan Sumi, Bernard digambarkan sebagai paman yang baik, berpikiran jernih, dan aktif. Sayang, tubuhnya tidak bisa beraktivitas seperti dulu lagi.

Pertemuan dengan Bernard sangat melelahkan. Tim dan Sumi pergi tanpa pemberitahuan ke Semarang. Begitu sampai di alamat yang dituju, Bernard tidak ada di rumah. Ia tinggal bersama istrinya, Bibi Siti, sejak serangan jantung pada Januari. 

Rombongan yang datang jauh-jauh dari Belanda itu berdiri dengan sekeranjang besar berisi buah-buahan eksotis di depan rumah kosong. Mereka juga membawa sembako seperti minyak, beras, gula, dan pakaian baru untuk sang paman.

Untung, ada tetangga yang tahu informasi kepindahan sang paman. Mereka memberi tahu bahwa sang paman sedang dirawat di rumah sakit di Salatiga.

Rombongan pun menuju ke Salatiga yang ditempuh setengah jam. Cuaca saat itu begitu panas. Untung, mereka naik mobil ber-AC. Rasa kekecewaan itu terbayar karena pemandangan di kanan kiri jalan begitu eksotis.

Sumi menggambarkannya seperti ini: Sawah ditanam untuk kali kedua tahun ini. Di mana-mana di sepanjang sisi jalan tumbuh pohon pisang dengan tandan di atasnya. Pohon kelapa bertebaran di sana sini bersandingan dengan pohon karet, jati, palem, bambu, dan banyak lagi.

Pertanian berkembang pesat di daerah pegunungan itu. Sangat kontras dengan Kota Salatiga yang menurut Sumi juga eksotis. Namun, suasana perdesaan jauh lebih tenang. Mereka terhindar dari suara bising di jalan raya.

Asap dari pembakaran bensin menggelitik sel-sel otak Sumi. Begitu kotor.  Hal itu langsung memicu trauma yang dia alami semasa kecil ketika dibawa dari desa di pegunungan ke kota besar. ”Aku tidak akan pernah melupakan bau itu, atau kebisingannya,” tulis Sumi.

RS Salatiga mudah ditemukan. Suasananya sangat ramai. Tempat parkir pun penuh. Mereka berjalan seperti bebek mengekor induk. Rudi dari Mijn Roots yang mengantar Sumi dan Tim berjalan paling depan dengan langkah yang tegas. Kata Sumi, Rudi selalu ramah dan sangat bijaksana. 

Mereka melewati klinik rawat jalan untuk mencari sang paman. Mereka pun jadi pusat perhatian karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Orang-orang juga melihat bahwa ada sesuatu yang sangat mencolok. Sumi membawa ransel kuning cerah di punggungnya. Juga, kamera dengan mikrofon di tangan.


Ransel kuning yang dibawa Sumi Kasiyo saat pulang kampung bersama Tim van Wijk bulan lalu. -Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Setelah beberapa saat, Rudi menemukan Bernard di ruang tunggu yang penuh dengan pasien. Untunglah, mereka tidak kucing-kucingan. 

Dengan cepat, Sumi menyalakan kamera dan merekam. Momentumnya sangat tepat. Dia bisa mengabadikan Tim dan Bernard berpelukan melalui lensa. Itu adalah pertemuan singkat yang intens dan emosional setelah 47 tahun. Air mata pun mengalir. (Salman Muhiddin)

Tim Mirip dengan Bernard. BACA BESOK!



Sumber: