Liga Itu Bukan Palagan (2): Kebencian yang Harus Dipungkasi
Ribuan suporter Persebaya Surabaya berdoa dan menyalakan lilin di Jalan Pahlawan, Surabaya, pada 3 September. Mereka menyatukan harapan, doa, hingga dukungan bagi Aremania, khususnya para korban yang meninggal dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan--
MALANG, HARIAN DISWAY - Kematian karena pertandingan bola membuat saya ingat tentang cerita kepahlawanan masa silam. Kisah peristiwa bulan Suro yang menghelat Tragedi Karbala atas Sayyidina Husain bin Ali pada 10 Muharram 61 H yang melintas pada 9-10 Oktober 680 M.
Berhari-hari anak manusia yang pernah ditimang Rasulullah SAW, bahkan main ”kuda-kudaan” di punggung paling mulia, dikepung dalam kemah. Aliran Sungai Tigris yang terhubung diblokade hingga kemah keluarga itu tidak memiliki akses air bersih serta stok pangan semakin menipis sebelum akhirnya habis.
Penderitaan hidup di tengah Padang Karbala tak tertanggungkan. Sayyidina Husain menyodorkan tiga opsi yang terhormat dalam situasi yang sangat sulit itu, yaitu: diizinkan kembali ke Madinah; atau ditugasi menjadi garnisun dan martil menghadapi musuh dari Turki; maupun siap di bawah menghadap Yazid. Terhadap ketiga pilihan itu, tentara Yazid tidak memberi toleransi karena perintah Sang Khalifah sangat terang bahwa Husain dan pengikutnya “harus dibereskan” dimanapun mereka diketemukan.
Pilihan yang disodorkan adalah perang, dan Sayyidina Husain meminta agar dalam perang itu cukup dirinyalah saja yang dibunuh, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua.
Sayyidina Husain meminta sahabat-sahabatnya untuk ”melarikan diri”. Cukuplah dirinya menghadapi kematian dalam kepungan ribuan pasukan bersenjata lengkap ini.
Dalam menghadapi kematian yang tidak terelakkan itu, karena takdir memiliki jalannya sendiri, semua pengikut Sayyidina Husain justru menyodorkan diri turut mengarungi jalan surga, bahkan 30 pasukan Yazid serta merta bergabung menjemput maut.
Semua pasukan telah tamat, kini tinggal Sayyidina Husain seorang yang berlumur darah dan berbercak luka. Dalam kesempatan ini Sayyidina Husain merasa kehausan dan meminta untuk diperkenankan minum meski seteguk.
Dalam luka yang mengoyak inilah, Sayyidina Husain merangkak ke tepian sungai untuk minum yang terakhir. Tapi malang, pasukan Yazid mengusir dari tepi sungai dengan menembakkan anak panah, sampai Sayyidina Husain nglesot memasuki kemahnya dan mendekap jabang bayi yang diajaknya, dan bayi itu pun ditombak dengan geram oleh tentara Yazid.
Sayyidina Husain ke luar kemah dan hadirlah seorang wanita memberi secangkir air minum. Tatkala cangkir itu diangkatnya dan menempel di bibir yang mana bibir Rasulullah SAW pernah menciumnya, sebuah tombak pasukan Yazid ditusukkan ke mulut itu hingga tembus ke kerongkongannya; putra dan ponakannya terbunuh pula dalam pangkuan lelaki yang disabdakan menjadi pemimpin para pemuda di surga.
Sayyidina Husain meski demikian tetap menengadahkan tangan berdoa untuk kebaikan umat dan dalam sekejap kepalanya dipenggal, tubuhnya diinjak dan diperlakukan dengan segala kekejian yang tidak masuk dalam ajaran peperangan zaman Rasulullah SAW.
Kepala Sayyidina Husain disaduki (ditendang, Red) hingga diriwayatkan dari sinilah ”olahraga sepak bola itu bermula” untuk selanjunya kepala ini ditusuk tombak dan di arak seperkilatan kisahnya laksana Hindun (nenek Yazid) memberlakukan Hamzah.
Kepala Sayyidina Husain dipertontonkan di sepanjang jalan menuju Kufa dan Panglima Perang Ubaidillah itu memukul-mukul mulut penggalan kepala Sayyidina Husain.
Dalam mengenang peristiwa ini ada orang tua yang turut berdesakan di jalanan yang mencekam dan meraungkan jerit duka waktu melihat arakan kepala Sayyidina Husain sambil mengacungkan telunjuknya: di bibir itulah aku melihat bibir Rasulullah SAW.
Daulat Bola
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: