Tirto Wening, Tantangan 10 Perupa dalam Cat Air (2); Mencairkan Kebekuan Perlahan-lahan

Tirto Wening, Tantangan 10 Perupa dalam Cat Air (2); Mencairkan Kebekuan Perlahan-lahan

Salah satu karya Bung Tiok berjudul Bunga Liar dan Negeri Kaki Gunung yang tersorot kamera smartphone pengunjung pameran.--

Salah satunya berjudul 9 Koi. Pingki terilhami perhitungan fengshui yang diterapkan oleh warga Tionghoa yang suka memelihara sembilan ikan koi di akuarium.

Biasanya ada delapan koi berwarna cerah yang dianggap mampu menarik energi chi yang bersifat positif. Di antaranya membawa dampak berupa kelancaran rezeki, kesehatan dan umur panjang. Satu yang hitam dipercayai mampu menyerap energi chi negatif dan menetralisirnya.

Dalam budaya Tiongkok dan Jepang, koi dianggap hewan pembawa keberuntungan. ”Makanya lukisan yang banyak dicari ya yang ada sembilan ekor. Itu angka keberuntungan. Angka paling besar. Feng shuinya bagus,” terang perupa 39 tahun itu.

Nah gaya ini ada pada karya Pingki. Namun dia mengerjakannya dengan sentuhan yang khas yakni bermata bulat besar. Lucu namun artistik.

Lukisan Pinky lainnya berjudul Macan Putih. Bermata lebar dengan torehan ala cat air yang menggunakan teknik akrilik. Menebal dan cerah. Efek samar hanya diletakkan pada bagian bawah lukisan yakni warna tanah tempat macan tersebut berpijak. 

Ekspresi macan putih itu tampak sedih. ”Tahun ini Tahun Macan. Tahun yang menandai era baru setelah pandemi. Meski terseok kita harus bangkit. Harus mampu terus bergerak meski masih terasa dampak dari dua tahun silam,” ungkap koordinator pameran itu.

Perupa Bung Tiok memajang beberapa lukisan bergaya dekoratif untuk mengulik tentang pemandangan alam. Dua di antaranya berjudul Bunga Liar dan Hujan di Kaki Semeru serta Bunga Liar dan Negeri Kaki Gunung.

RB Wiyanto bergaya realis. Dalam Marut Klopo ia memotret perempuan tua sedang memarut kelapa. Sebuah pemandangan khas di dapur perdesaan. Satu lagi Banyu Bening yang seolah searti dengan judul pameran.
Dua karya RB Wiyanto berjudul Marut Klopo (kanan) dan Banyu Bening--

Dengan cara manis, Firnandy Sutikno justru berbicara keras tentang kerusakan ekosistem laut dalam tiga seri lukisan berjudul Kehancuran Ekosistem Laut 1-3. Ia melukis sampah-sampah laut. Di antaranya plastik yang kerap dimakan penyu dan sampah laut lainnya yang mengganggu habitat ikan-ikan.

”Lihat betapa kesepuluh perupa ini sangat luas menerjemahkan arti Tirto Wening –air bening, air jernih- yang dicapai dalam berbagai proses. Sama-sama menuangkan kejernihan hati dan pikiran yang mampu menuntun kreativitas dalam penciptaan karya dalam kondisi apa pun,” ungkap Agus.
Karya Firnandy Sutikno dari kiri Kehancuran Ekosistem Laut 2, Kehancuran Ekosistem Laut 3, dan Kehancuran Ekosistem Laut 1.--

Senada dengannya, Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) Samad Widodo yang hadir dalam pameran menyerahkan sertifikat kepada masing-masing perupa, mengapresiasi Tirto Wening sebagai salah satu penanda bangkitnya kembali gairah seni rupa di Jawa Timur.

”Pasca-pandemi kesenian kita bangkit lagi. Pameran ini salah satu bukti bahwa seni rupa Jawa Timur terus bergerak. Semakin giat meneguhkan esistensi. Utamanya para perupa cat air,” tegas Samad. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: