Tirto Wening, Tantangan 10 Perupa dalam Cat Air (2); Mencairkan Kebekuan Perlahan-lahan
Salah satu karya Bung Tiok berjudul Bunga Liar dan Negeri Kaki Gunung yang tersorot kamera smartphone pengunjung pameran.--
SURABAYA, HARIAN DISWAY, Selain berarti air bening, Tirto Wening ibarat muara setelah kegelisahan yang dialami perupa selama pandemi. Fenomena yang telah memberikan waktu untuk lebih melihat ke dalam diri sendiri. Lebih optimistis tentang masa depan. Melalui kreativitas.
Tirto Wening yang digelar di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) pada 2-9 Oktober 2022, menurut Agus Koecink, kurator, diarahkannya sebagai aktualisasi dari pencapaian perupa sejak masa pandemi.
”Dulu ketika pandemi dengan segala keterbatasan telah membuat perupa merenung. Mereka merasakan betapa beratnya dua tahun terakhir. Maka saat inilah saatnya mereka berbuat sesuatu agar kehidupan menjadi wening. Melalui kreativitas,” ungkapnya.
Pandemi dengan segala kekurangannya diakui telah memberi energi bagi para perupa untuk berproses. Untuk mencapai estetika yang diinginkan atau bahkan bisa melampauinya.
Agus mengibaratkan bahwa cat air, media melukis yang dimanfaatkan para perupa kali ini sama dengan aliran kreatif yang sempat membeku.
Mencairkan perlahan-lahan menjadi bentuk visual yakni karya seni rupa. ”Cat air jadi sarana menantang untuk menyampaikan pesan sesuai karakter. Tampak mereka telah menaklukkan masing-masing kendala yang dihadapi selama ini,” terangnya.
Ada yang melukis dengan teknik on the spot seperti Sigit Crueng dan Akhmad Ramadhan. Untuk mengimajinasikan objek riil dan diubah atau dideformasi jadi visual beraneka ragam dilakukan Pingki Ayako, Sherine Aprillia, atau Sherly Ozora. Begitu juga gaya lain perupa Andaru Prijoko dengan tema keluarga.
Ada pula yang menuang kisah kearifan lokal Jawa –khususnya wayang- seperti karya Taufik Kamajaya. Bagi pelukis 72 tahun tersebut, kisah-kisah pewayangan masih relevan sampai saat ini. Sebagai teladan atau perumpamaan bijak untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik.
Tiga karya Taufik Kamajaya yang mengangkat kisah-kisah pewayangan yang dianggapnya masih relevan sampai saat ini sebagai teladan atau perumpamaan bijak untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik.--
Seperti figur ibu yang diangkatnya. Dalam pewayangan, ibu yang benar-benar gigih merawat anak-anaknya adalah sosok Dewi Kunti. ”Ibu para Pandawa,” ungkapnya tentang satu dari tiga lukisan yang dibawanya mengarah pada sosok wayang Kunti.
Wayang tersebut digambarkan dua bagian. Satu berupa bayangan berwarna biru gelap. Satunya lagi berwarna cerah dan tampak jelas. Seakan merefleksikan karakter keibuan Kunti dari zaman dulu hingga sekarang masih menjadi teladan bagi para ibu.
Keruhnya situasi yang terjadi pada era Kurawa dan Pandawa dalam Bharatayudha -pertempuran besar antara dua saudara wangsa Bharata- sangat mengilhami Taufik. Ia mengajak para pengunjung pameran mengilhami leluhur Pandawa-Kurawa yakni Begawan Palasara.
Berjudul sama dengan nama sang begawan itu, Palasara adalah gambaran orang bijak yang gemar bertapa. Ia menguji daya tahan diri dan pikiran, mencapai pencerahan yang bersih dari segala keinginan duniawi. Hati yang bening. Sebening air telaga atau tirto wening.
”Bahkan Begawan Palasara membiarkan empat burung kecil bersarang di kepalanya karena induk burung menolak merawat. Dengan binatang saja ia sayang apalagi dengan manusia,” ujar Taufik.
Dalam gaya berbeda, Pingki tampil dengan karakternya. Figur atau objek binatang yang dicitrakan mirip karikatur dengan teknik pewarnaan cat air yang matang.
Pingki Ayako (tiga dari kanan) di depan karyanya bersama Agus Koecink (kanan), Dhanana Adi, Moel Yoto, Noer Inong, Ratna Sawitri, dan Totok Koi.--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: