Diskusi Film Blonde (2022): When Love and Hate Collides
AKTING Ana de Armas sebagai Marilyn Monroe dalam Blonde layak mendapatkan penghargaan. -Netflix-
Oleh:
Wimpie,
karyawan swasta,
member Group Hobby Nonton
SAYA sengaja mengambil lagu Def Leppard sebagai judul pembahasan kita kali ini. Blonde mengisahkan kehidupan aktris dengan ketenaran luar biasa besar semasa hidup. Yakni Norma Jeane Mortenson, atau Marilyn Monroe. Nama Mortenson didapatkan dari Martin Edward Mortensen, suami ibunya, Gladys. Namun, dalam penelusuran selanjutnya, ditemukan bahwa ayah biologis Norma Jeane adalah Charles Stanley Gifford, pegawai RKO Pictures.
Norma Jeane tidak terlahir dengan rambut Blonde. Melainkan cokelat muda. Rambut dia baru diwarnai menjadi pirang cerah pada 1946. Delapan tahun kemudian, rambut itu lantas di-bleach, sehingga warna pirang pucatnya permanen. Hingga menjadi trade mark abadi Norma.
Make-up artist Allan "Whitey" Spider membuat penampilan Norma semakin bersinar dengan alis coklat tua, kulit putih pucat glowing, ditambah lipstik merah merona dan ... tahi lalat! Tahi lalat dikenal dengan istilah beauty mark di AS. Warna rambutnya dipilih seperti itu berdasar penampilan aktris terkenal, Rita Hayworth. Namanya diubah menjadi Marilyn, seperti nama aktris Marilyn Miller. Sedangkan Monroe adalah nama belakang ibunya sebelum menikah.
Norma bukan aktris yang tak punya ambisi dan hanya mengandalkan kemolekan paras. Seperti stereotype perempuan pirang pada umumnya, yang dianggap hanya menjual penampilan. Norma adalah pekerja seni yang berjuang mati-matian dari bawah. Dia mengambil kelas akting, dansa, menyanyi, bahkan belajar cara membuat film dengan berkeliaran di studio-studio di Hollywood.
Usaha tak kenal lelah, ditambah dengan beragam tuntutan, hingga semua kasus yang menimpa dia (misalnya dituduh komunis) membuat Norma mengalami gangguan mental. Dia sulit tidur, gelisan berlebihan, dan harus mengkonsumsi obat-obatan. Yang tanpa dia sadari, pengaruh obat-obatan tersebut justru menaikkan kegelisahannya ke level yang sangat tinggi. Dia harus tidur dalam keabadian pada 4 Agustus 1962. Saat usia dia baru 36 tahun.
NORMA JEANE (Ana de Armas) bersama penulis naskah Broadway Arthur Miller (Adrien Brody) yang akhirnya menjadi suaminya. -Netflix-
Norma punya segudang prestasi. Semua filmnya laku keras. Dia bahkan diibaratkan sebagai jaminan bagi setiap studio ataupun sineas yang ingin filmnya merajai box office. Biarkan Marilyn berakting, film dijamin sukses. Fans akan mengantre untuk menonton. Dia diganjar Golden Globe atas akting piawainya dalam Some Like It Hot (1959).
Sayang, cinta yang begitu besar dari para penggemar tak mampu membungkam sisi kelam hidup Marilyn. Yang diinterpretasikan sedemikian rupa oleh sutradara Blonde, Andrew Dominik. Yang didasarkan pada novel fiksi yang diilhami oleh sosok Marilyn, karangan Joyce Carol Oates.
Dominik bukannya tak paham risiko mengangkat karya fiksi seperti ini. Ia bukannya tak mengerti bahwa ’’teori’’ seputar kehidupan Marilyn akan membuat ia dihujat oleh banyak kalangan. Meski begitu, ia nekat membuat sosok Norma Jeane tidak lain dan tidak bukan menjadi sebuah obyek, seonggok daging (yang disebut Meat di film ini). Bebas diperlakukan seperti apapun tanpa ada akibat yang menyertai.
Memang, Dominik berhasil membuat sebuah kisah yang sangat pilu. Pula terlalu keji untuk ditonton oleh anak di bawah umur. Eksploitasi dengan menggunakan eksplorasi seksual itu benar-benar membuat saya muak sampai ingin muntah. Saya harus bertahan selama tiga jam untuk melihat kisah pilu yang lebih pilu daripada film Arie Hanggara. Hingga saya harus menyebut film ini sangat sadis, dengan tingkat kesadisan melebihi The Painted Bird yang pernah kita bahas dulu.
Blonde membuat saya merasakan keterpurukan yang mendalam. Seakan saya adalah orang paling bejat yang hanya mampu berdiam manakala melihat sesosok perempuan disiksa habis-habisan. Klimaksnya adalah ketika Dominik membuat reka ulang adegan di mana Marilyn berdiri di atas sebuah lubang di trotoar, dan kemudian angin menghembus kencang ke atas, mengangkat rok putihnya tinggi-tinggi sampai, maaf, paha dan celana dalamnya terlihat jelas.
Adegan itu disertai adegan lambat yang menyoroti para wartawan dan penggemar Marilyn berkerumun. Berteriak seperti ratusan hyena yang siap menyantap daging korbannya. Menjijikkan.
Menjelang akhir film, kondisi Marilyn yang mengalami halusinasi sebagai efek samping obat-obatan ditampilkan dengan distorsi berlebih pada mulut-mulut para aktor pendukung. Sehingga terlihat seperti setan, iblis, dan hewan buas yang hendak memangsa sosok Marilyn.
ADEGAN IKONIK gaun putih Marilyn Monroe tertiup angin ini menjadi salah satu sekuen yang paling menyakitkan dalam Blonde. Penonton bisa merasakan kejamnya industri Hollywood kepada Norma Jeane. -Netflix-
’’Berondongan’’ Andrew Dominik hanya diperhalus oleh adegan lambat, narasi suara Ana de Armas, dan halusinasi Marilyn akan suara ayahnya. Ini adalah teknik penyajian cerita yang brilian. Seperti sebuah perjuangan hak kaum perempuan yang berbenturan keras dengan kaum misoginis, perang tak kasat mata yang akan berlangsung sampai kapan pun.
Saya bersyukur bahwa Netflix mau menghadirkan film ini dalam kurasi mereka. Karena saya menjadi saksi sejarah akan kiprah Dominik. Yang mungkin dalam waktu ke depan akan didapuk menangani film-film blockbuster ataupun film bernuansa art house. Blonde jelas menjadi pengejawantahan selera seni yang tinggi dari seorang Andrew Dominik.
Pujian selanjutnya saya tujukan pada Ana de Armas, sang pemeran Norma Jeane. Dia mampu menghilangkan logat kental Amerika Latinnya dan berbicara tanpa aksen. Akting De Armas, terlepas dari adegan topless, patut diacungi jempol. Saya menonton hampir semua film dia, dan Blonde adalah saat ketika De Armas berubah dari ulat bulu menjadi kupu-kupu.
Blonde adalah momentum di mana cinta akan dunia film dan kebencian terhadap dunia hiburan bertemu, berargumen, saling menyerang satu dengan yang lain. When love and hate collides. (*)
Komentar
LIMA BELAS menit pertama benar-benar gila, kejam. Saya harus berhenti dan beristirahat sebentar untuk memulai lagi. Tapi itu baru awal film ini. Hampir tiga jam lebih durasi, dan semuanya penuh adegan yang menyesakkan. Benar saja, banyak penonton yang kehilangan kesabaran kemudian mematikan televisi.
Film ini sadis secara mental, mengeksploitasi kerusakan moral, dan misoginisnya industri hiburan. Sepertinya memang ada sebuah gerakan perlawanan terhadap maskulinitas di baliknya. Era kebangkitan gerakan #MeToo. Dan film ini mewakiinya.
Saya memahami wilayah kontroversinya. Tetapi secara historis tak berpengaruh apa-apa bagi saya. Di luar sana banyak sekali kemarahan. Mereka mencecar tentang akurasi dan eksploitasi. Tapi saya harus jujur. Sebagai penikmat film, Blonde adalah film yang epik. Penampilan Ana De Armas fantastis. Wajahnya sering dikunci di dalam frame oleh sutradara. Dan De Armas berhasil menunjukkan kegetiran, rasa sakit, dan trauma dibalik senyum cantik merekah Norma Jeane.
Awik Latu Lisan,
penikmat film
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: