Murka Solo
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Saya menangkap presiden sudah geregetan soal itu. Hal tersebut terlihat dari diksi yang digunakan serta mimik saat menyampaikannya. Juga, beberapa kali memberi jeda dalam setiap mengungkapkan kata. Tampak juga sering disertai dengan menghela napas.
Presiden seperti terpaksa harus memberikan pengarahan sendiri karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri betul-betul anjlok. Terjun bebas setelah terjadi peristiwa Sambo dan tragedi Kanjuruhan. Dari angka di atas 80 menjadi 50. ”Ini sangat serius,” tegas presiden.
Mengapa presiden seperti begitu murka dengan persoalan tersebut? Tentu karena polisi adalah aparat pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Inilah institusi negara yang juga menjadi cermin dari kinerja pemerintahan. Yang kiprah dan kinerjanya langsung dirasakan masyarakat.
Karena itu, di awal pidatonya, ia sempat mengapresiasi peran Polri dalam penanganan Covid-19. Sehingga Indonesia bisa segera lepas dari situasi pandemi selama dua tahun. Vaksinasi Covid-19 menjadi berhasil, salah satunya, karena peran besar polisi.
Selain karena bersentuhan langsung dengan masyarakat, kewenangan Polri memungkinkan ia masuk ke seluruh lini kehidupan. John Emerich Edward Dahlberg Acton pernah berujar, ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup. Makin absolut kekuasaannya, makin korup pula.
Itulah yang berusaha diingatkan presiden. Tetapi, sebagai orang Jawa, apalagi Solo, ia tak mungkin memberikan peringatan secara vulgar. Ia menyampaikannya dengan simbol. ”Kalau tongkat komando saya lucuti, kalian tak akan punya power. Karena itu, hati-hati.” Demikian kira-kira yang ada dalam benak Jokowi.
”Rem total,” kata Jokowi denga intonasi tegas, keras, dan jelas. Rupanya ia sudah melihat alarm merah jika soal gaya hidup sebagian oknum polisi dan keluarganya itu tidak segera diingatkan.
Dalam falsafah Jawa, orang mengenal ngono yo ngono, ning ojo ngono. Artinya kurang lebih: boleh saja seseorang punya kekuasaan, punya kekayaan, tapi tidak perlu pamer kekuasaan maupun kekayaan. Orang Jawa mengenal kepatutan. Ada batas moral. Ada empati dengan mereka yang tidak mampu. Tak boleh berlebihan.
Tentu upaya mengangkat kembali citra Polri bukan hanya tanggung jawab presiden. Kita semua berkepentingan Polri tegak sebagai institusi penjaga keamanan warga. Kita berkepentingan Polri bisa kembali dikenal sebagai pengayom masyarakat.
Tentu ini bukan pekerjaan gampang. Tapi, kepercayaan publik akan kembali jika Polri bisa menunjukkan kinerja yang luar biasa setelah ini. Terutama dalam hal penanganan judi dan narkoba yang melibatkan sejumlah oknum perwiranya.
Kita akan lihat bagaimana wajah Polri setelah murka Solo ditunjukkan presiden. Tepat di hari ulang tahun ke-101 sosok teladan polisi dalam sejarah kepolisian di Indonesia. Hoegeng Iman Santosa, mantan Kapolri yang tidak punya apa-apa sampai meninggal dunkapolriia.
Pasti itu simbol lain yang ingin dipesankan Presiden Jokowi kepada Polri. Saatnya spirit Hoegeng bersarang di hati seluruh petinggi Polri kita. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: