Sanggar Lidi Surabaya dan Orasi Budaya Zawawi Imron (2); Angkat Kisah Mahmoud Syaltout dan Gayatri
Gayatri (kiri), salah seorang dari sedikit bangsawan perempuan yang cerdas. Dia dekat dengan rakyat.--
Seorang laki-laki berpakaian kerajaan, bermahkota, berdiri tegak di tengah, di belakang perempuan itu. Di hadapannya dua orang perempuan berhatur sembah. Di sisi kiri dan kanan adalah prajurit. Suara terompet muncul. Melengking parau, seperti suara gajah. Dua perempuan itu bangkit lantas menari.
Sepertinya adegan itu menggambarkan peristiwa Raja Kertanagara dari Singhasari, yang beberapa jam sebelum kematiannya, ia mengadakan pesta pora di lingkungan istana. Tanpa menyadari adanya serbuan dari Jayakatwang, penguasa Kadhiri.
Tak berapa lama dari luar panggung, aktor-aktor prajurit merangsek ke dalam. Mereka membuat kekacauan. Disusul dengan pertempuran antara satu orang melawan banyak prajurit. Tak seimbang. Terdengar teriakan panjang, ”Singhasari hancur! Singhasari hancur!”
Ada adegan yang dimainkan oleh aktor-aktor yang berperan sebagai rakyat jelata. Mereka bersedih, karena terkena imbas dari pertarungan perebutan kekuasaan antara Singhasari dan Kadhiri.
Adegan berubah. Tokoh yang memerankan Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, tampil mengomando pasukan Mongol yang datang atas perintah Kubhilai Khan.
Dengan kecerdikannya Raden Wijaya kembali merebut takhta Singhasari, kemudian mendirikan Majapahit. Satu adegan menampilkan tokoh utama, Dyah Gayatri, putri bungsu Kertanegara yang diperisteri Raden Wijaya.
Raja pertama Majapahit itu memintanya untuk membantu jalannya pemerintahan, karena Gayatri adalah satu dari sedikit bangsawan perempuan yang cerdas. Dia dekat dengan rakyat.
Peran Gayatri sebagai pakar politik terlihat jelas ketika dia mencoba menenangkan puterinya, Dyah Gitarja yang terlibat perseteruan dengan Jayanegara, putera Raden Wijaya yang hendak dilantik menjadi raja.
”Baik buruknya sikap, tak sekadar dinilai dari niatnya saja. Tapi juga dari ketepatan perilaku, pengambilan keputusan serta waktu yang menentukan. Jadi bersabarlah, Nak,” ujarnya pada Dyah Gitarja.
Gayatri pula yang berperan dalam mengangkat nama Gajah Mada, patih legendaris Majapahit. Dia begitu dekat dengan sosok pemimpin pasukan Bhayangkara kerajaan itu.
Tokoh yang memerankan Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, tampil mengomando pasukan Mongol yang datang atas perintah Kubhilai Khan.--
Namun proses pengadaptasian naskah, rupanya kurang dibarengi dengan tinjauan-tinjauan soal sumber sejarah yang melatarbelakangi berdirinya Majapahit hingga mencapai era keemasan.
Pasukan Bhayangkara yang ditampilkan hanya berjumlah 13, dengan Gajah Mada sebagai pemimpinnya. Padahal dalam Pararaton, disebutkan bahwa Bhayangkara berjumlah 15 orang.
Sah ring wengi tan ananing wruh, anghing wong Bhayangkara angiring, sakehe kang katuju akemit duk abhatara lungha, hana wong lima welas. Begitulah narasi Pararaton dalam mengisahkan perjuangan Bhayangkara dalam menyelamatkan Jayanegara. Hana wong lima welas bermakna: terdapat 15 orang. Bukan 12.
Di balik segala kekurangan, baik kurangnya observasi pada naskah sejarah atau tinjauan kostum yang jauh berbeda dengan citraan pada relief-relief candi, pementasan Gayatri yang diselenggarakan Sanggar Lidi mampu membawa interpretasi terhadap sosok Dyah Gayatri dan konteks masa kini. Bahwa Nusantara butuh pemimpin atau sosok perempuan bervisi dan berwawasan luas. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: