Santripreneur
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
SEHARI jelang Hari Santri Nasional 2022, saya berkunjung ke Pondok Pesantren Queen Al Falah, Ploso, Kediri. Inilah pondok pesantren yang menjadi bagian dari Ponpes Al Falah. Salah satu ponpes terbesar di Kediri selain Lirboyo.
Jika Al Falah adalah holding-nya, Queen Al Falah adalah subholding-nya. Al Falah didirikan KH Ahmad Djazuli, Queen Al Falah dikembangkan putranya, KH Munif Djazuli. QAF –kalau boleh disingkat– kini dipimpin Gus Ahmad Hasbi Munif.
Saya tidak pernah mondok di sana. Hanya menjadi santri ”pocokan”. Santri yang setiap kali datang untuk bertemu kiainya. Tidak pernah mengaji kitab. Hanya menjadi santri privat dari Gus Munif –demikian kami biasa memanggil pendiri Queen Al Falah.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Mohamad Nuh menyebut santri jenis itu sebagai santri PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Ia merujuk salah satu model penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi masa lalu. Semacam jalur prestasi.
Saya dan Pak Nuh dikenal juga sebagai santri PMDK Ponpes Al Fitrah, pesantren di Kedinding, Surabaya, yang didirikan KH Asrori Al Ishaqi. Disebut demikian karena menjadi santri tidak dari bawah. Tapi, langsung punya hubungan khusus yang bersifat ruhaniah dengan kiainya.
Sebagai santri PMDK, saya tetap menjalin hubungan batin dengan Al Fitrah maupun Queen Al Falah. Berusaha hadir setiap ada haul alias peringatan kematian pendirinya. Atau sewaktu-waktu secara khusus ziarah ke makam KH Asrori maupun KH Munif Djazuli. Juga, tetap menjalin hubungan dengan putra-putrinya.
Itu pula yang saya lakukan pekan lalu di Kediri. Setelah berziarah ke makam Gus Munif, saya pun langsung sowan ke putra pertamanya, Gus Ahmad Hasbi. Pertama, dikejutkan dengan pesatnya pembangunan fisik Ponpes Queen Al Falah. Kedua, Gus Ahmad sudah membangun rumah sendiri yang asri.
Gus yang ketika saya sering ke Ploso masih balita itu kini telah menjadi sosok yang matang. Tidak hanya berhasil mengendalikan ponpes yang ditinggalkan ayahnya. Ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih besar dan lebih maju dari sebelumnya. Ia juga menjelma menjadi pengusaha hebat.
Gus Ahmad yang dari kecil hanya di pesantren itu bisa menjadi kontraktor bangunan, pengusaha jaringan klinik, pengusaha tambang, dan memimpin tim konsultan perusahaan untuk go public. Talenta beragam yang biasanya diisi para lulusan perguruan tinggi dari dalam maupun luar negeri.
Bagaimana seorang santri putra kiai yang sehari-hari hidupnya di pesantren bisa memperoleh pencapaian seperti itu? Bagaimana pesantren yang selama ini dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan tradisional bisa menghasilkan santri andalan yang siap terjun di masyarakat?
Gus Ahmad hanya salah satu contoh. Makin banyak lulusan maupun jebolan pesantren yang menempati posisi strategis di sektor publik maupun bisnis. Makin banyak pula produk pesantren yang bergelut di dunia usaha. Makin berjibun santri yang layak disebut sebagai santripreneur alias santri entrepreneur.
Gus Ahmad bercerita bagaimana membangun semua bisnisnya itu dari nol. Di luar tanggung jawab utamanya meneruskan pengelolaan Ponpes Queen Al Falah. Yang sekarang juga mengembangkan sekolah formal: SMK. Yang memungkinkan santri juga bisa mendapatkan ijazah formal darinya.
Modal untuk mengembangkan jiwa entrepreneur-nya hanyalah pesan-pesan orang tuanya. Misalnya, suatu ketika ia mengaku diajak kerja sama bisnis oleh sebuah konsorsium perorangan. ”Ketika saya mohon restu kepada Bapak, beliau hanya bilang jangan pernah meminta kecuali diberi,” katanya.
Pesan itulah yang ia pegang hingga sekarang. Karena itu, setiap saat harus rapat di Jakarta, ia tak pernah minta fasilitas. Bahkan, ia rela hanya naik kereta ke Jakarta. Juga, menginap di penginapan sederhana. Tak jarang, meski uangnya terbatas, ia berusaha untuk membayari makan bersama. Jika ditanya menginap di mana, ia pun bilang di hotel bintang lima. Ke Jakarta dengan naik pesawat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: