Mewujudkan Pesantren Ramah Anak

Mewujudkan Pesantren Ramah Anak

ILUSTRASI Mewujudkan Pesantren Ramah Anak.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BASNANG SAID, direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, menegaskan bahwa tahun depan Kemenag mulai mengarah pada transformasi sistemik Pesantren. Di antaranya dengan perubahan paradigma pengasuhan dan pendidikan. 

Lalu, perluasan program dengan membuat skema pendidik sebaya. Tujuannya adalah mengubah paradigma pengasuhan dan pendidikan pesantren menuju lebih baik (11 Februari 2025). 

Penegasan di atas merupakan respons Kementerian Agama terhadap kasus kekerasan yang dialami santri. Untuk menunjukkan kesungguhan, Kemenag menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pengembangan Pesantren Ramah Anak. 

BACA JUGA:Transformasi Pesantren Menuju Indonesia Emas 2045: Refleksi Hari Santri Nasional 2025

BACA JUGA:Negara Harus Hadir untuk Pesantren

Sebagai wujud dari ikthiar itu, pada 2025, rencana strategis akan dilaksanakan di 34 pesantren di 34 provinsi sebagai pesantren model. 

Seraya menunggu realisasi, sejatinya pesantren di Indonesia telah melakukan banyak kegiatan yang mendukung dua tujuan utama dari pendidikan. Yakni, penanaman karakter dan keterampilan. 

Ia juga merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, yang memiliki ciri khas tersendiri, yakni berasrama dan mandiri. Jelas, keberadaan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren akan makin meneguhkan kedudukan tersebut.

BACA JUGA:Sambut Hari Santri, Gernas Ayo Mondok Sampaikan Risalah Jaga Marwah Pesantren dan Santri

BACA JUGA:Deretan Pondok Pesantren Terbaik di Indonesia: Perpaduan Tradisi, Ilmu, dan Modernisasi

TEORI  

Erich Fromm, seorang filsuf dan psikoanalis, dalam karyanya, Akar Kekerasan, membedakan dua jenis kekerasan. 

Pertama, kekerasan jinak (benign aggression), yakni bentuk kekerasan yang bersifat defensif atau bertujuan untuk bertahan hidup. Misalnya, seseorang yang membela diri saat diserang atau insting binatang untuk melindungi anaknya. 

Kedua, kekerasan merusak (malignant aggression) merupakan kekerasan destruktif yang tidak terkait dengan pertahanan diri, tetapi lahir dari dorongan psikologis atau sosial. Jenis itu terdiri atas dua bentuk utama. Yaitu nekrofilia, ketertarikan terhadap kehancuran dan kematian, serta sadisme, yakni kenikmatan dalam menyakiti atau mendominasi orang lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: