Naik-Naik ke Puncak Gunung Wank, Jerman

Naik-Naik ke Puncak Gunung Wank, Jerman

SITI BAEQUNNIYA berpose di salah puncak Gunung Wank, Jerman.-Siti Baequnniya untuk Harian Disway-

Oleh
Siti Baequniyyah
warga Indonesia, tinggal di Nuernberg


TAK TERASA, perjalananku ke Gunung Wank, di Jerman bagian selatan itu, sudah hampir setahun lalu. Bulan Desember. Aku masih mengingat betul setiap detik demi detik perjalananku. Diawali dengan kereta yang berlari kencang dari Nuernberg ke Garmisch-Partenkirchen. Aku duduk di samping jendela yang berembun. Bias salju menciptakan bercak bergaris-garis putih.

Aku tak sendiri. Melainkan bersama seorang kawan. Lisa nama dia. Kami kompak mengenakan pakaian supertebal. Berlapis-lapis. Meski di dalam kereta, udara dingin tetap menusuk. Dua jam melanju, kereta melambat. Memasuki stasiun Muenchen. ’’Oper,’’ kataku. Lisa mengangguk. Kami meraih tas, lalu turun.

Dari Nuernberg, tempat tinggal kami, memang harus ganti kereta kalau hendak menuju Garmisch-Partenkirchen. Kota ski yang masuk kawasan Pegunungan Alpen itu merupakan salah satu pintu masuk untuk mendaki Gunung Wank. Gunung itu sendiri cocok untuk pendakian. Jalurnya tak terlalu curam. Tak terlalu menanjak pula.


JALUR PENDAKIAN yang dilewati Siti Baequnniyah menuju ke puncak. -Siti Baequnniya untuk Harian Disway-

Setiba di Garmisch-Partenkirchen, begitu turun dari kereta, kami langsung disambut pemandangan Gunung Wank yang menjulang. Salju tebal dan kabut menyeruak. Syalku sudah setinggi bibir. Bahkan menutup hidung. Suhu mencapai minus dua derajat Celcius.

Gunung tersebut terletak di Jerman selatan, terletak di lembah Loisach dekat perbatasan Austria. Geologi gunung tersebut didominasi oleh batuan berkapur, sebagai ciri khas pegunungan Alpen Bavaria. Iklimnya juga khas daerah tersebut. Curah hujannya tinggi. Jika musim salju begini, curah hujan saljunya yang tinggi. Jika tak sedang musim salju, areal sekitar Wank hingga ke puncak ditumbuhi rerumputan hijau.

Di Jerman, Gunung Wank adalah salah satu destinasi favorit wisatawan. Waktu aku datang ke sana, kota penuh turis. Tak hanya anak-anak muda yang kepingin menghabiskan musim dingin dengan mendaki Gunung Wank. Aku melihat banyak pasangan lansia.

Aku dan Lisa langsung menuju salah satu jalur hiking di Wank yang paling dekat dengan stasiun. Kami berdua berjalan menyusuri hutan cemara. Berjajar dan jaraknya cukup rapat. Perjalanan awal cukup landai. Setelah beberapa ratus meter, baru perlahan-lahan mulai menanjak.

Hutan di lereng Wank relatif aman. Pada musim salju, kaki-kaki kami harus menjejak salju yang cukup tebal. Melangkah harus pelan-pelan. Apalagi kabut tebal muncul, disertai bulir-bulir salju berjatuhan. Pandangan tak selalu jernih. Jika tak waspada, bisa tergelincir.


PEMANDANGAN yang terbentang sepanjang perjalanan hiking ke puncak Gunung Wank di Garmisch-Partenkirchen, Jerman. -Siti Baequnniya untuk Harian Disway-

Beberapa kali kami berpapasan dengan beberapa wisatawan yang turun. Rata-rata lansia. Mereka hanya hiking setengah jalan saja, tidak sampai puncak. Di Jerman, orang-orang tua rutin berolahraga. Tak mengherankan kalau harapan hidup warga Jerman cukup panjang. Bisa sampai 90 tahun lebih.

Satu hal lagi, mereka ramah. Jika berpapasan, selalu melempar senyum. Lalu sekada say hi atau mengucapkan ’’Have a nice day.’’

Sebagai orang muda, gengsi dong kalau cuma separo jalan seperti para lansia itu. Aku dan Lisa berniat muncak. Tingginya mencapai 1780 meter di atas permukaan laut. Kami berjalan terus hingga melewati jalan berbelok yang tajam. Cemara-cemara kehilangan warna hijau. Menjadi sedikit keabu-abuan.

Perjalanan menuju puncak cukup lama dan melelahkan. Sebenarnya lebih tepat jika kami mendaki saat musim panas atau musim semi. Pemandangannya menakjubkan. Tapi, mendaki saat musim salju lebih menantang. Memicu adrenalin.

Meski telah ditetapkan sebagai kawasan wisata, masuk ke Gunung Wank tak bertarif alias gratis. Setelah pandemi yang menyiksa selama dua tahun, kini semua pembatasan telah dilonggarkan. Semua orang bebas bepergian ke mana pun, tanpa harus menunjukkan kartu vaksin.

Tapi mendaki saat musim salju, Gunung Wank jadi serasa milik pribadi. Sebab pengunjung tak terlalu ramai. Tak terasa, kami berjalan selama tiga jam. Di atas kami, terlihat kabel-kabel raksasa yang menjuntai. Beberapa kabin kereta gantung melintas pelan. Orang Jerman menyebutnya Wankbahn. Atau kereta gantung Gunung Wank.

’’Nanti turunnya naik itu saja,’’ kata temanku sambil ngos-ngosan. Aku mengangguk. Capek juga.


MONUMEN GIPFELKREUZ (summit cross) di puncak Gunung Wank, dilengkapi dengan patung Yesus. Monumen itu menjadi penanda puncak gunung. -Siti Baequnniya untuk Harian Disway-

Tapi segala rasa penat terbayar. Di puncak gunung terdapat monumen Gipfelkreuz. Dengan salib di bagian atasnya. Monumen itu konon dibangun oleh masyarakat setempat sejak 1904. Sebagai penanda puncak gunung.

Dan yang luar biasa, di puncak Wank terdapat beberapa restoran. Rasa lapar setelah berjalan selama tiga jam tentu menyerang. Maka kami mampir ke salah satu restoran dan mencicipi makanan berkuah. Namanya knodelsuppe. Yakni sup berisi daging dan potongan daun bawang.

Setelah dicicipi, rasa kuahnya sama seperti bakso di Indonesia. Mirip seratus persen! Kami jadi bisa sedikit bernostalgia dengan kuliner tanah air. Minumannya adalah hot chocolate. Hangat, menenangkan fisik dan pikiran, dan bikin rileks. Rasa lelah sama sekali hilang.

Setelah kenyang, kami memutuskan  pulang. Naik Wankbahn. Perjalanan dengan kereta gantung hanya butuh waktu 15 menit. Seru pula. Bisa sambil melihat anak-anak gunung Alpen dari ketinggian. Benar-benar lukisan alam yang tak tertandingi keindahannya. (*)


KERETA GANTUNG melintas di atas gunung Wank. Itu bisa jadi opsi untuk mendaki maupun menuruni Gunung Wank.-Siti Baequnniya untuk Harian Disway-

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: