Review Film Dont Worry Darling: Utopia, Antara Ada dan Tiada

Review Film Dont Worry Darling: Utopia, Antara Ada dan Tiada

CHRIS PINE (tengah) sebagai pemilik perusahaan Victory di Don’t Worry Darling. Ia berusaha mewujudkan kota utopis yang ternyata menyimpan rahasia gelap. -Warner Bros.-

Oleh:
Nico Tan,
freelancer, member Group Hobby Nonton

SAAT menciptakan lagu Imagine 1971 lalu, John Lennon dan Yoko Ono membayangkan sebuah dunia Utopia yang mereka dambakan. Lagu tersebut tercipta di tengah hujatan kepada Yoko sebagai ’’Wanita Naga’’ yang menghancurkan rumah tangga Lennon dengan Cynthia Powell. Dan—pada akhirnya—The Beatles.

Alice (Florence Pugh) dan Jack Chambet (Harry Styles) sangat beruntung bisa tinggal di sebuah kota eksperimental di tengah gurun milik perusahaan Victory. Frank (Chris Pine), pemimpin Victory, sudah 99 persen berhasil mewujudkan sebuah kota utopia.

Deretan rumah dengan warna ceria tertata rapi. Para istri menunggu suami pulang kerja dengan les balet, menikmati matahari sore di kolam renang, ditemani tetangga yang baik dan saling dukung.

Bicara soal dunia yang ideal, kita harus mundur jauh ke belakang. Saat teknologi belum tercipta, manusia masih hidup berburu dan meramu. Dunia utopis, bagi mereka, adalah mudah menangkap mangsa. Maka itu diwujudkan dengan menciptakan teknologi berupa alat berburu dan perangkap. Mereka juga menemukan api untuk menghangatkan dan memasak makanan.

Lelah hidup nomaden, utopia mereka adalah hidup menetap. Mereka menciptakan teknologi cocok tanam dan domestifikasi tumbuhan serta hewan.

Ketika manusia menetap dan hidup berkelompok, kekuasaan, kekuatan, atau juga egoisme menimbulkan perang antarsuku. Utopia bergeser lagi menjadi kota benteng. Yang melindungi manusia dari perang. Maka, lahirlah kerajaan-kerajaan. Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban, dunia ideal malah makin menjauh. Sampai lahirlah utopia baru berupa Revolusi Industri.

Kekuasaan, kekuatan, serta egoisme kembali menciptakan Perang Dunia, I dan II. PBB terbentuk dari kesadaran bahwa perang semakin menjauhkan manusia dari utopia. Manusia terus mencari utopia. WHO dibentuk menjawab wabah polio yang mendunia. Lahir World Econonic Forum saat para kapitalis merusak tatanan ekonomi. Di sisi lain, muncul Karl Mark dengan utopia sosialisme.

Ternyata, hingga saat ini keinginan manusia mendambakan utopia dari masa ke masa belum juga tercapai. Karena itu, manusia modern berjuang dengan bantuan teknologi untuk meraih impian itu. Era Revolusi Industri 4.0 menuju teknologi 5G adalah upaya menemukan dunia ideal.

Berbekal sebuah digital ID, banyak hal dapat dilakukan manusia. Transaksi, bisnis, pendidikan, hiburan, sampai dunia virtual seperti metaverse. Maka, harapan utopia seolah hampir terwujud. Seperti yang sudah-sudah, industri 4.0 memiliki tantangannya sendiri. Kejahatan digital kian marak, mulai dari order fiktif hingga kejahatan deep web.

Nah, kembali ke Don’t Worry Darling. Victory tak luput dari hal serupa. Margareth dan Alice merasakan ada misteri mengerikan di balik hidup yang nyaris sempurna itu. Hidup di Victory ibarat berada dalam kotak eksperimen "Universe 25" yang dilakukan ahli etologi bernama John Bumpass Calhoun.

Calhoun sengaja membuat dunia utopia bagi tikus. Dalam rentang lima tahun tersebut dapat dibagi menjadi empat fase. Mulai A (perjuangan), B (perkembangan), C (penyeimbangan), dan D (kepunahan). Lalu apakah dunia utopia patut diperjuangkan? Apakah keberadaan utopia justru seperti yang dinyanyikan band Utopia dalam lagu Antara Ada dan Tiada? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: