Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (1): PCR Taipan

Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (1): PCR Taipan

Amal Ghozali, pengusaha Indonesia, saat menjalani tes PCR di lokasi yang ditunjuk maskapai di Jakarta. Penumpang ke Tiongkok hanya boleh tes PCR di tempat tersebut. -Novi Basuki-Harian Disway-

KAPOK saya ke Tiongkok kalau pemerintah mereka masih menerapkan kebijakan zero- Covid. Filsuf agung Konfusius benar, “三思而后行” (sān sī ér hòu xíng): pikirkan dulu berkali-kali, baru bertindak. 

Tapi, saya kan santri. Yang diajarkan untuk ta’dzimul ustadz, tunduk pada guru. Yang kalau guru bilang A, mesti sami’na wa atha’na, menyimak dan mengiyakan. Tanpa banyak tanya. 

Kendati, bukan berarti kami tidak diajari berpikir kritis. Kalau tidak, buat apa bahtsul masa’il repot-repot digelar –walau yang dibahas adalah perkara yang terkesan remeh-temeh semacam bagaimana hukumnya kumur-kumur pakai kopi sisa semalam saat siang-siang puasa Ramadan? 

Cuma, kalau sudah guru yang mengarahkan, hampir adalah hil yang mustahal ada santri yang ogah menjalankan. 

Di situlah problemnya. Yang meminta saya ke Tiongkok adalah guru saya: Abah Dahlan Iskan. 

Sebenarnya bukan meminta. Lebih tepat disebut bertanya. “Novi, Anda mau kan dampingi teman baik saya ke Tiongkok? Namanya Pak Amal Ghozali, putra guru nahwu shorof saya dulu.” Begitu WA Abah ke saya kapan hari. Kalimatnya berbentuk pertanyaan, toh?

Masalahnya, alam bawah sadar saya sudah terlatih mengartikan pertanyaan guru saya sebagai perintah. Makanya, begitu membaca WA itu, tak butuh waktu lama bagi saya untuk menjawab, ’’Sam’an wa tha’atan, Abah.” 


Amal Ghozali menunjukkan foto paspor di HP paspor untuk difoto petugas sebelum menjalani swab test PCR. -Novi Basuki-Harian Disway-

Hitung-hitung, saya sebenarnya juga sudah kangen sekali ke Tiongkok. Sudah hampir tiga tahun tidak pernah ke sana.

Saya sering bilang, saya ini manusia amfibi. Hidup di dua alam pemikiran: Indonesia dan Tiongkok. Kalau kelamaan di Tiongkok, saya rindu Indonesia—kejulidan dan ke-santuy-annya. Kalau kelamaan di Indonesia, saya rindu Tiongkok—kepraktisan dan kecepatannya.

Terlebih, saya juga penasaran bagaimana pemerintah Tiongkok menanggulangi pandemi. Apalagi menjelang Hari Kemerdekaan dan Muktamar ke-20 Partai Komunis Tiongkok (PKT)—yang akan mengukuhkan Xi Jinping sebagai sekjen PKT dan selanjutnya menjadi presiden Tiongkok untuk periode ketiga. Soalnya, selama ini saya hanya membacanya dari berita. 

Padahal, saya sering diminta mengisi seminar dan diwawancara media untuk menjelaskan tentang Tiongkok—dan salah satunya adalah soal penanganan krisis kesehatan di bawah kepemimpinan Xi Jinping ini. 

Memang saya bisa menjelaskannya. Tetapi, itu kan hanya sebatas teori. Alias cuma bermodalkan katanya-katanya. Sedangkan menurut Mao Zedong, “不调查就没有发言权” (bù diào chá jiù méi yǒu fā yán quán): Anda tidak punya hak bicara kalau tidak melakukan penelitian langsung. Maklum, meminjam ungkapan klasik Tiongkok, “百闻不如一见” (bǎi wén bù rú yī jiàn): mendengar seratus kali, keakuratannya kalah dengan melihat sendiri meski cuma sekali.

Ya sudah. Saya putuskan berangkat ke Tiongkok. Dan, dari keputusan inilah, bermacam-macam ke-njlimet-an dimulai. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: