Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (1): PCR Taipan
Amal Ghozali, pengusaha Indonesia, saat menjalani tes PCR di lokasi yang ditunjuk maskapai di Jakarta. Penumpang ke Tiongkok hanya boleh tes PCR di tempat tersebut. -Novi Basuki-Harian Disway-
Tes PCR menjadi kendala pertama dan utama setelah mendapatkan visa.
Visa tidak sulit-sulit amat diperoleh. Asal berkas-bekas yang diperlukan lengkap. Asal vaksin sudah tiga kali, dan kartu vaksinnya bisa dikonversi ke kartu vaksin internasional yang diakui WHO melalui PeduliLindungi.
PCR tidak secincai itu. Di Indonesia, kita bebas melakukan tes di mana saja semau kita. Bahkan, tanpa tes pun, dengar-dengar juga bisa dikondisikan hasilnya. Mau dipositifkan atau dinegatifkan, bergantung isi saku kita.
Tiongkok agaknya tidak bisa diakali begitu. Tempatnya ditentukan. Tidak ada pilihan. Tesnya pun wajib dua kali: terhitung sejak 48 jam (2 hari) sebelum keberangkatan.
Hari pertama, dicolok lobang hidung kanan dan kiri oleh satu petugas. Geser ke petugas sebelahnya, giliran dicolok kerongkongan, dua kali. Total ada 4 test kit.
Sebelum di-PCR, masih ada sesi foto. Kami disuruh buka halaman depan paspor yang berisi data pribadi, lalu dipegang di depan dada, baru difoto oleh petugas yang semuanya pakai APD lengkap. Mungkin untuk menghindari joki.
Beres. Tinggal tunggu hasil tes yang akan dikirimkan malam hari di hari yang sama. Juga tes kedua esok harinya.
Di perjalanan pulang, teman yang mengantarkan saya nyeletuk, “Kalau mereka mau berbuat kurang ajar, positifkan saja lima sudah banyak untungnya.”
Saya terkekeh.
Memang, biaya tes PCR per orang mahal: Rp 3,6 juta. Tapi, masak laboratorium yang ditunjuk mengetes ini mau kemaruk begitu? Wong pemiliknya taipan. Yang duitnya tidak akan habis dimakan sampai turunan kesembilan. (*/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: