Praktisi Unair Kritisi Mangkraknya RPH Kota Pasuruan

Praktisi Unair Kritisi Mangkraknya RPH Kota Pasuruan

ALAT-ALAT potong hewan di RPH Blandongan, Kota Pasuruan, sudah berkarat lantaran mangkrak.-Lailiyah Rahmawati-

PASURUAN, HARIAN DISWAY – Pemkot Pasuruan masih mengalami kesulitan untuk mencari sumber-sumber baru pendapatan asli daerah (PAD). Selama ini Kota Pasuruan hanya bertumpu pada pemasukan bersumber dari dana alokasi khusus dan umum (DAK-DAU) serta bagi hasil pajak.

Kenyataannya, sampai saat ini Pemkot Pasuruan belum menemukan formula yang tepat dalam meracik dan menggali sumber baru bagi PAD-nya.

Padahal, keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH) di Kelurahan Blandongan, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan, itu semestinya bisa dioptimalkan sebagai sumber tambahan bagi PAD Kota Pasuruan.

Roslinormansyah, praktisi Universitas Airlangga yang juga inisiator awal RPH Kota Pasuruan, angkat bicara akan ketidakbecusan Pemkot Pasuruan mengelola aset tersebut.

”Konseptor awalnya adalah saya sekitar tahun 2002. Kemudian, saya bersama Pak Setiyono (mantan wali kota) yang presentasi ke pemerintah pusat sehingga kemudian mereka yakin bahwa Kota Pasuruan layak mendapatkan bantuan pembangunan RPH,” ujar Rosli, mengawali kisahnya.

Rosli menambahkan, konsep awal RPH Blandongan sudah dilengkapi dengan business plan yang nantinya bisa menyumbang pemasukan bagi PAD Kota Pasuruan sekitar Rp 15 miliar per tahun. Alat-alat penyembelihan di RPH Blandongan, menurut Rosli, sangat modern sehingga semua bagian sapi setelah disembelih tidak terbuang begitu saja.

”Semua bagian sapi tidak ada yang mubazir. Tulangnya sudah ada yang siap membeli, yakni peternak ayam besar yang membutuhkan tulang sapi untuk dijadikan serbuk dicampurkan pakan ayam,” lanjut Rosli.

RPH yang dibangun pada 2003 tersebut, dikatakan Rosli, sudah siap menampung ribuan sapi. ”Darah sapinya nanti dialirkan ke kolam-kolam ikan untuk pakan tambahan. Itu awal mula konsep RPH sehingga tidak heran jika perusahaan besar seperti Bogasari tertarik bakal berinvestasi,” kata laki-laki kelahiran 4 April 1972 itu.

Sayangnya, menurut Rosli, semua business plan yang dikonsepnya amburadul ketika Pemkot Pasuruan di era itu menyusun anggaran dari APBD untuk pengadaan sapi-sapi yang akan diternak.

Konon, anggaran sekitar hampir Rp 500 juta itu malah dikuasai ketua DPRD saat itu dan tidak jelas peruntukannya. ”Sempat ada sapi-sapi, tapi hanya tiga bulan. Setelah itu, tidak jelas ke mana semua sapi-sapi tersebut,” tandasnya.

Dari situlah, ujar Rosli, awal mula berantakannya konsep RPH Blandongan.

”Saya menjadi pesimistis arah bisnis RPH ini. Makin tidak jelas dengan anggaran-anggaran yang disusun yang ternyata muspro,” imbuhnya.

Dari pantauan di lapangan, memang kondisi RPH Blandongan sangat memprihatinkan. Kondisi RPH sangat sepi dari aktivitas penyembelihan. Sejumlah aset berupa peralatan sembelih juga tampak berkarat.

Pemkot Pasuruan pun sampai saat ini belum terdengar akan mengoptimalkan dan menghidupkan kembali RPH Blandongan sebagai sumber bagi pendapatan asli daerah. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: