Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (3): Positif Batal
Amal Ghozali mengenakan APD sebelum masuk ke pesawat, sebelum terbang ke Tiongkok.-Novi Basuki-Harian Disway-
"Dari kemarin bareng?"
"Enggak. Pisah-pisah," kata saya, cepat-cepat. Khawatir kalau bilang iya, bisa-bisa kami juga dilarang ke Tiongkok. Karena akan dianggap orang yang punya kontak erat. Di Tiongkok, jika satu orang positif, orang-orang di sekitarnya bisa sama-sama diangkut ke pusat karantina.
"Coba dilobi, Mas. Siapa tahu masih bisa berangkat," pinta salah seorang di rombongan saya –yang terbiasa dengan pola kerja hukum Indonesia.
"Kalau positif, ini kok QR code kesehatannya masih hijau?" kelit saya.
"Sebentar lagi pasti akan berubah jadi merah," jawab petugas itu, mantap. "Kedubes masih memproses perubahannya," tambahnya.
"Jadi sudah pasti tidak bisa berangkat?" tanya saja, coba mengajak negosiasi.
"Pasti. Ini sudah keputusan pemerintah kami," jawabnya, tegas.
"Tidak bisa ditawar-tawar, ya?" goda saya.
"Bisa. Kalau 2 minggu lagi tes PCR lagi dan semua hasilnya negatif," katanya, teguh.
Kami tak bisa apa-apa lagi selain mematuhi.
Kesedihan tak bisa ditutupi dari wajah Pak Kasnadi. Apalagi Pak Rois, yang merupakan adiknya. Dua-duanya selalu berjuang bersama. Dalam suka dan duka. Persis yang dikatakan dalam puisi 我侬词 (wǒ nóng cí), "你中有我, 我中有你" (nǐ zhōng yǒu wǒ, wǒ zhōng yǒu nǐ): dalam diriku ada dirimu, dalam dirimu ada diriku.
Dengan psikis yang makin tertekan, kami pasang APD, bersiap boarding untuk memulai perjalanan ke Tiongkok yang Pak Yusuf dan Pak Amal bilang sebagai "perjuangan untuk sebuah perubahan dalam dunia perikanan". (*/Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: