Inferiority Complex di Meme Iriana Jokowi

Inferiority Complex di Meme Iriana Jokowi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

”Penjajah juga menerapkan politik divide et impera atau politik pecah belah serta kolonialisasi atau semangat penindasan. Ini masih berakar di masyarakat kita sekarang. Perbedaan jadi sumber pertengkaran.”

Dilanjut: ”Maka, kita harus bangkit dari keterpurukan ini.”

Meski tidak berkaitan, isi seminar itu kebetulan berkorelasi dengan isi permintaan maaf pemilik akun @KoprofilJati yang dianggap publik menghina Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

@KoprofilJati diketahui bernama Kharisma Jati, 36. Orang Jawa. Tinggal di Bantul, DIY. Komikus. Pernah sekolah di SMA Negeri 7 Yogyakarta. Menikah, punya seorang anak. Karya terakhirnya komik seks pada 2013 bertajuk 17+. Isinya.

1) ”Dengan ini saya, Kharisma Jati, meminta maaf kepada Keluarga Besar Presiden RI atas unggahan saya di media sosial yang menyinggung perasaan anggota keluarga Bapak Presiden Joko Widodo, termasuk kerabat; staf; dan pejabat di lingkungan kepresidenan. Permintaan maaf ini saya nyatakan dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam, tanpa unsur keterpaksaan maupun kepura-puraan.”

2) ”Dan jika dari pihak terkait bermaksud mengadakan tuntutan hukum maka saya akan menerima dengan lapang dada atas segala hukuman yang adil dan setimpal.”

3) ”Namun, tidak ada sedikit pun permintaan maaf saya terhadap para pendukung fanatik rezim ini, yang merasa bisa berbuat sesukanya sendiri tanpa mengindahkan moral dan etika, karena saya bukan penjilat; pembeo; maupun perundung, dan tidak sedikit pun saya membenarkan perbuatan semacam itu. Framing, fitnah, dan ujaran kebencian yang mereka buat hanya mencerminkan arogansi dan kemunafikan mereka.”

Sangat jelas. Di poin nomor tiga, berkorelasi langsung dengan ”divide et impera” menurut Kwartarini. Sisa kampaye Pilpres 2014 berlanjut ke kampanye Pilpres 2019: Politik identitas berbasis agama.

Psikoanalis Sigmund Freud, dalam karyanya, The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud (1999), membedah struktur psikis manusia. Ada tiga: id, ego, super-ego.

Id kebutuhan dasar: Makan, minum, pakaian, rumah, dimuliakan oleh masyarakat. Wajib terpenuhi. Super-ego berperan kritis (mikir) berdasar moralitas, norma sosial, atau hukum. Ego menengahi hasrat id berperang melawan super-ego.

Tanpa teori ilmu politik, masyarakat paham hal ini. Hati masyarakat merasa adem. Terpenting buat mereka, di tengah kemiskinan Indonesia, kampanye politik adalah padat karya. Setara menunggu lamaran kerja.

Di kasus Kharisma Jati, Polri kini menimbang-nimbang. Memproses atau tidak. Menangkap Kharisma Jati atau membiarkan saja.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Adi Vivid kepada pers, Jumat (18/11), mengatakan: ”Kami sudah temukan unsur dugaan pidananya.”

Berarti Kharisma Jati bakal ditangkap polisi. Tunggu saatnya.

Terbaru, Kabidhumas Polda DIY Kombes Yuliyanto kepada pers, Minggu, 20 November 2022, mengatakan, kasus itu masuk delik aduan. Harus ada laporan polisi (LP) dari pihak yang merasa dirugikan, tanpa diwakili.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: