Inferiority Complex di Meme Iriana Jokowi
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Pengalaman masa kecil itu mengendap di otak bawah sadar. Menggumpal jadi memori. Menghasilkan inferiority complex.
Alfred Adler lahir di Wina, Austria, 7 Februari 1870, meninggal di Aberdeen, Britania Raya, 28 Mei 1937. Psikolog Universitas Wina yang melahirkan teori itu pada 1900.
Belasan tahun kemudian, Cambridge Dictionary of Psychology menyebut sebagai: Adlerian Psychology. Atau, Bapak Teori Inferiority Complex. Ilmu itu dipelajari di fakultas psikologi hingga kini. Terutama di pascasarjana.
Adler membagi inferiority complex dalam dua bentuk.
1) A Primary Inferiority. Perasaan inferioritas primer, berakar dari pengalaman asli kelemahan, tak berdaya, dan ketergantungan anak kecil. Akibat kurang penerimaan dan kasih sayang ortu. Atau bisa juga akibat kelemahan konstitusional yang sebenarnya.
Definisi itu didukung, diperdalam, oleh duet profesor: Richard Langton Gregory dan Oliver Louis Zangwill dalam buku mereka, The Oxford Companion to the Mind (Oxford University Press, 1987), bahwa teori Adler itu masuk wilayah neuropsikologi.
Gregory (1923–2010) adalah guru besar neuropsikologi di University of Bristol, Britania Raya. Sedangkan Zangwill (1913–1987) guru besar psikologi eksperimental, Cambridge University, Britania Raya.
Neuropsikologi adalah bidang psikologi klinis dan eksperimental, mempelajari hubungan antara struktur dan fungsi otak dengan proses dan perilaku psikologis.
Neuropsikologi digunakan untuk riset pada manusia dan hewan primata atau bangsa monyet. Yakni, hasil pantauan aktivitas listrik dari sel-sel otak individual manusia dan primata. Misalnya, monyet otomatis jago berayun gelantungan tanpa diajari (David G. Andrewes: Neuropsychology, From Theory to Practice, New York Psychology Press, 2001).
2) A Secondary Inferiority. Perasaan inferioritas sekunder, berhubungan dengan pengalaman orang dewasa yang tidak mampu mencapai tujuan akhir fiktif bawah sadar. Misalnya, kepingin jadi orang begini, ternyata jadi begitu.
Tujuan akhir fiktif bawah sadar adalah representasi keamanan psikologi subjektif yang ada di setiap individu. Ketika itu tidak tercapai, individu merasa kalah, lemah, bahkan hina. Perasaan itulah inferiority complex.
Perasaan itu ada pada bangsa kita, kata banyak pakar, akibat penjajahan Belanda 350 tahun. Walaupun awalnya Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang. Benarkah?
Dikutip dari web resmi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Kamis, 14 April 2016, berjudul Kolonial Wariskan Sikap Minder dan Rendah Diri, dipaparkan di seminar yang bertajuk Seminar Nasional Empowering Self.
Kegiatan itu digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik, Universitas Islam Sultan Agung, Sabtu, 2 April 2016, di kampus Unissula. Dihadiri sekitar 400 peserta.
Di sana, guru besar psikologi klinik, Universitas Gadjah Mada, Kwartarini Yuniarti sebagai pembicara mengatakan, 350 tahun kita dijajah Belanda sehingga mengubah mental kita jadi rendah diri. Minder. Dari generasi ke generasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: