Obituari Remy Sylado: Seniman Lintas Seni yang Mbeling Pendobrak Tatanan
SENIMAN SERBABISA, Remy Sylado (kanan) dalam sebuah pemotretan terakhir pada 2018. Ia dikenal sebagai wartawan, sastrawan, budayawan, musisi, hingga aktor dengan puluhan karya yang melegenda. -Facebook Remy Sylado-
Oleh:
Prof Dr Djoko Saryono, MPd
Guru Besar Universitas Merdeka Malang
Remy Sylado telah tiada. Di mata banyak orang, ia adalah budayawan besar. Ia bisa disemati predikat sebagai seniman multitalenta, penyair, pemusik, sastrawan, dan semuanya benar. Tapi, Remy lebih tepat disebut sebagai seorang generalis. Cendekiawan klasik yang teguh berpendirian. Berikut pandangan Prof Dr Djoko Saryono yang dituturkan kepada Harian Disway.
KUBUKA halaman demi halaman buku Puisi Mbeling karya Remy Sylado. Tentu minggu-minggu ini, karya-karya beliau akan dibaca kembali, didengarkan kembali, direnungkan, bahkan ditafsirkan lagi. Banyak pegiat sosial mengunggah foto beliau sembari menyertakan kutipan dari puisi atau lirik lagunya. Budayawan besar itu telah berpulang pada Senin, 12 Desember 2022.
Karya-karya Remy selalu nikmat untuk dibaca. Tak pernah membosankan. Ia adalah penyair yang mendobrak kebekuan kata-kata, konvensi sastra dan bahasa, bahkan ketabuan. Sekali lagi, aku dibuat tertawa ketika membaca puisi berjudul Waktu Doa Ulang Tahun:
terima kasih tuhan atas hidangan ini
berhubung botty tiba-tiba kentut
terpaksa
amin kami ganti dengan
jancuk.
Remy memang penyair nyentrik. Tapi rata-rata orang mengenal beliau sebagai penyair mbeling saja. Tak hanya itu! Remy dikenal sebagai novelis, mantan wartawan senior, bahkan musikus. Seorang multitalenta. Ya, benar.
Tapi ia lebih tepat disebut sebagai seorang generalis.
Remy adalah orang yang berpikir dalam perspektif kebudayaan. Sedangkan musik, sastra, dan berbagai bidang kesenian lain adalah ruang jelajahnya. Generalis adalah seseorang dengan keterampilan serta minat yang bervariasi. Seorang generalis, seperti Remy, memiliki kemampuan di berbagai bidang.
Maka, Remy adalah seorang generalis. Sekaligus budayawan generalis serta intelektual klasik. Seluruh sektor kebudayaan dan pemikiran ada pada dirinya. Ia adalah intelektual kebudayaan yang berpikir dan berkontribusi terhadap kebudayaan itu sendiri.
Perlu diketahui, bahwa seorang generalis adalah mereka yang mampu menjaga harkat dan martabat di ruang-ruang spesialis apa pun. Baik musik, teater, sastra, bahasa dan sebagainya.
REMY SYLADO (kanan) menerima penghargaan Anugrah Budaya Kota Bandung 2017 dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. -Facebook Remy Sylado-
Sejauh pengamatanku, Remy membangun intelektualitasnya secara inklusif. Semua pihak dirangkul, dijadikan sahabat. Semua bentuk kesenian dijelajahi. Dan ia mencoba mencari elemen-elemen kebudayaan apa pun. Baik musik maupun segala jenis kesenian lain yang dapat menyegarkan peradaban.
Inovasi dan daya dobraknya pun tak main-main. Baca atau dengarkan saja novel dan album berjudul Orexas. Pada dekade '70an, Remy merilis keduanya secara bersamaan. Tahu arti kata Orexas? Bukan dari istilah Yunani atau dari bahasa mana pun. Itu singkatan. Yakni Organisasi Sex Bebas. Gila enggak, tuh?
Karya itu pernah digunakan sebagai cerita bersambung ketika Remy bergabung dengan majalah Aktuil. Majalah hiburan yang memuat banyak informasi seputar musik, dan bahkan dianggap sebagai "kitab suci" para musisi. Khususnya para rocker pada era itu. Orexas yang ditulis Remy pun menjadi cerbung yang sangat ditunggu-tunggu.
Kiprahnya sebagai seorang generalis, salah satunya, diperoleh dari kontribusinya saat bergabung dengan Aktuil itu. Majalah tersebut terbit kali pertama pada 8 Juni 1967 di Bandung. Orexas, bukan berarti Remy menganjurkan atau memopulerkan budaya seks bebas. Namun ia memaparkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Di luar tampak religius, mengutamakan budaya ketimuran, tapi praktik-praktik semacam itu marak terjadi di negeri ini. Bahkan terang-terangan. Bagiku, itulah daya kritis dan keberanian yang patut dihargai dari seorang Remy Sylado.
HARI-HARI tua Remy Sylado tetap diisi dengan berkesenian. Dalam foto yang diambil pada Februari 2019 ini, ia melukis sebagai persiapan pameran pada April 2019. -Facebook Remy Sylado-
Dalam dunia musik, ia mendobrak melodramatisme dan romantisme lirik lagu Indonesia. Bahkan menyinggung hal-hal yang dalam pandangan masyarakat bersifat tabu atau negatif.
Dengarkan saja lirik lagu berjudul Surat seorang Putra buat Ibunya:
Ulurkan tanganmu, Ibu
Karena aku sedang jatuh
Di dalam percintaan yang tak senonoh
Pacarku yang kali ini pelacur pinggiran jalan.
Lirik tersebut mengisahkan tentang seorang anak yang mengalami kecelakaan, ditabrak mobil. Kemudian ditolong seorang pelacur jalanan. Lalu keduanya jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara. Lantas, anak itu menulis surat pada ibunya. Mengabarkan bahwa ia sedang berpacaran dengan seorang pelacur.
Memang tak lazim. Dalam budaya kita, tak mungkin seorang anak mau berterus terang pada orang tuanya bahwa ia sedang menjalin hubungan dengan seorang pekerja seks komersial. Bagiku, lewat lirik itu, Remy sedang menggugat sebuah pandangan humanis-spiritual yang telah mapan dalam masyarakat. Yang menganggap bahwa hubungan dengan pelacur itu sebagai dosa besar.
Dalam konteks sosial, Remy mengkritik masyarakat yang memandang rendah seorang pelacur. Atau orang yang memiliki hubungan dekat dengan kupu-kupu malam. Mengapa orang tidak boleh dekat dengan seorang pelacur? Padahal, bagi Remy, Yesus sangat dekat, bahkan bersahabat dengan pelacur.
Begitu pun dalam bidang sastra. Seorang Remy tak hanya diidentikkan dengan Puisi Mbeling saja. Karyanya seperti Ca Bau Kan, yang pernah difilmkan, mendobrak substansi-substansi yang dalam lingkungan masyarakat sangat ditabukan.
Meski kritis, seorang Remy Sylado tidak menafikan potensi-potensi musik, sastra, maupun kesenian-kesenian lokal. Ia memeluk semua jenis seni, global atau umum. Bahkan sampai pada hal yang sakral sekali pun.
Aku pribadi turut kehilangan atas kepergian generalis sekaligus intelektual klasik itu. Rambutnya yang putih, badannya yang tegap serta ekspresinya yang tajam. Menegaskan pendirian dan prinsipnya yang tak pernah goyah. Dunia seni negeri ini sedang berduka. Tapi, meski raga itu telah tak ada, karya-karyanya mengabadi. Sepanjang masa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: