No Spoiler, Ini Review Film Avatar: The Way of Water (2022)

No Spoiler, Ini Review Film Avatar: The Way of Water (2022)

JAKE SULLY (Sam Worthington) dan anaknya, Neteyam (Jamie Flatters) dalam Avatar: The Way of Water. Film ini menghadirkan pengalaman sinematik luar yang luar biasa indahnya. -20th Century Studios-

Oleh:
Awik Latu Lisan
penikmat film, member Group Hobby Nonton

Pada 2009, James Cameron mendefinisikan kembali genre fantasi lewat masterpiece-nya, Avatar. Kini, 13 tahun kemudian, ia kembali lewat Avatar: The Way of Water. Film yang 95 persen adalah CGI ini membawa lagi pengalaman sinematik yang menakjubkan. Dengan visual layar IMAX dan 3D membuat semuanya menjadi semakin layak dinikmati, hanya di bioskop.
---

SAYA AKUI, Avatar: The Way of Water adalah film dengan visual terbaik yang pernah ada. Teknologi 3D dan CGI-nya benar-benar tak ada kekurangan sedikitpun. Ia membuat CGI film-film blockbuster sebelumnya terlihat seperti animasi Tom & Jerry. Penonton di samping saya bahkan bilang bahwa dirinya seakan sedang berada di dunia lain. Film ini menyeretnya masuk ke dunia Pandora yang sangat menakjubkan. Film fantasi yang epik dan masif. Saya setuju.

Film dengan bujet tertinggi keempat sepanjang sejarah ini diawali dengan opening yang agak panjang. Sebuah kolase kehidupan Jake Sully (Sam Worthington), yang harus menjadi Toruk Makto, pemimpin tertinggi bangsa Na’vi. Ia dan Neytiri (Zoe Saldana) sudah punya empat anak. Yakni Neteyam (Jamie Flatters), Lo’ak (Britain Dalton), dan Tuk (Trinity Jo-Li). Plus anak angkat remaja bernama Kiri (Sigourney Weaver). Memperlihatkan betapa bahagianya mereka.

Hingga akhirnya musuh dari bangsa langit, yaitu manusia bumi, muncul dan memulai lagi invasi mereka di Pandora. Kali ini kedatangan mereka tak hanya mengeruk kekayaan Pandora. Tapi juga untuk membunuh Jake Sully yang dianggap pengkhianat.

Menjadi sasaran senjata musuh, Jake dan keluarganya memutuskan pergi dari klan mereka dan bersembunyi di sebuah tempat yang terpencil di tengah laut. Mereka bersembunyi bersama para klan lain dari bangsa Na’vi yang hidup di pantai. Di situlah petualangan baru mereka dimulai.


SETIAP SCENE dalam Avatar, The Way of Water layak dijadikan wallpaper, saking bagusnya. James Cameron menciptakan kamera 3D jenis baru khusus untuk syuting film ini. -20th Century Studios-

Saya bukan penyuka sekuel. Apalagi jika film pertamanya sudah terlalu bagus dan legendaris. Tapi mendengar Avatar kedua diproduksi beberapa tahun lalu, anehnya, saya sangat bersemangat. Bahkan rumornya Avatar sudah dirancang hingga Avatar 5.

Jika yang pertama ber-setting di tanah planet Pandora, kedua di dunia air, mungkin yang ketiga dan keempat di dunia pengendali udara dan api Pandora. Dan yang kelima, barulah bangsa Na’vi siap menginvasi bumi. Jadi mirip Avatar-nya Aang. Hehe…

Selain itu, Avatar dunia air ini berhasil masuk nominasi film terbaik dan sutradara terbaik versi Golden Globes. Pengumuman itu keluar dua hari sebelum film ini dirilis di bioskop seluruh dunia. Kabarnya, juga digadang-gadang menjadi film terbaik Oscars tahun depan. Tapi saya tak terlalu terkejut.  

Saya ingat, pada 2009, saat Avatar dirilis. Dunia dihebohkan oleh film 3D paling fenomenal di dunia. Mengubah pengalaman sinematik dalam dunia sinema modern. Tiga kontribusi tiket saya mengantar Avatar menjadi film paling laris sepanjang masa. Dengan penghasilan total USD 2.922.917.914, atau Rp 45,65 triliun dengan kurs sekarang. Belum ada yang menumbangkan catatan itu. Bahkan Avengers: Endgame sekalipun.

Ilmuwan di Balik Avatar

Semua itu adalah hasil tangan dingin James Cameron. Kreator Titanic itu sudah tiga kali memenangkan Oscar dari tiga kategori berbeda. Sebagai sutradara, produser, dan editor. Cameron memang bukan filmmaker biasa. Ia juga seorang ilmuwan, penjelajah, dan penemu.

Ia adalah sineas paling inovatif di industri perfilman dunia. Menarik batas kemampuan sinematik dengan penerapan teknologi baru yang lebih canggih. Media menyebutnya the King of Hi-tech Thrillers. Mungkin itu pengaruh watak Cameron yang sangat perfeksionis dan peduli dengan tiap detail dalam filmnya.


SUTRADARA JENIUS James Cameron (kiri) di lokasi syuting Avatar 2 di studio 20th Century Studios pada 2021.-Mark Fellman-Entertainment Weekly


Saat syuting Titanic, daripada menggunakan studio atau blue screen, ia memilih membuat ulang kapal Titanic dari kapal dan seisinya. Biaya pembuatan replika Titanic disebut-sebut jauh lebih mahal dari pembuatan kapal Titanic sebenarnya. Alhasil, Titanic menjadi film termahal di dunia selama lebih dari satu dekade. Yang menumbangkan rekornya? Ya Avatar itu!

Ia bahkan berhasil mengembangkan teknologi pembuatan film bawah air beserta teknologi kendaraannya. Hanya untuk mendapatkan syut asli Titanic di dasar laut. Teknologi itu terus ia kembangkan untuk pembuatan dokumentasi laut. Hingga pada 2012, Cameron berhasil menjadi orang pertama yang melakukan penyelaman tunggal ke dasar Palung Mariana selama tiga jam.

Mantan suami sutradara perempuan pertama pemenang Oscar, Kathryn Bigelow, itu juga menemukan sistem kamera fusion 3D. Saat syuting Avatar, ia harus bekerjasama dengan Sony untuk membuatkan kamera khusus rancanganya sendiri. Ia tak puas dengan teknologi kamera 3D saat itu.

Untuk Avatar: The Way of Water, Cameron menciptakan kamera 3D baru yang disebut Venice. Kamera yang mampu menangkap gambar dalam frame rate paling tinggi. Dan hasilnya bisa Anda lihat sendiri di bioskop. Pilih layar 3D ya, untuk mendapatkan kepuasan maksimal.

Hanya Bisa Dinikmati di Bioskop

Saya berhasil menonton Avatar 2 pada hari pertama rilisnya, Rabu, 14 Desember 2022. Layar IMAX 3D dengan kursi tengah yang sempurna. Dengan durasi 192 menit, rasanya pasti akan sangat memuaskan. Kali ini, Cameron sengaja tak buru-buru bercerita. Karena waktunya panjang. Walau ada kalanya, tetap ada beberapa scene yang melompat tergesa-gesa.


ADEGAN bawah air Pandora menjadi tampak luar biasa berkat kecanggihan teknologi yang digunakan James Cameron. -20th Century Studios-

Di luar filmnya, saya sangat bersemangat melihat seluruh tempat duduk di studio ini terisi penuh. Bahkan yang paling depan. Antusiasme penonton lain mungkin sama dengan saya. Menanti sebuah pengalaman sinematik yang tak biasa. Yang tak bisa didapatkan di layar kecil smartphone atau laptop dengan streaming.

Pada akhirnya, saya sangat bersenang-senang dengan film ini. Menikmati visual yang memanjakan mata, dan audio yang sangat nyaman di telinga. Film ini tak hanya menjadi hiburan. Tapi juga momen kontemplasi yang mengagumkan. Membangkitkan rasa kagum akan hebatnya sebuah sinema. Meski banyak plot hole yang mengganggu. Tapi plot sederhana dan klise ini jelas ada banyak pengaruh dari Disney yang 2019 lalu mengakuisisi 20th Century Studios.

Saya lega, karena satu tiket kecil seharga 50 ribu rupiah ini adalah support kecil saya atas industri sinema yang saya cintai. Bioskop tak akan pernah mati. Good movie has to be watched at the good place.

Dan saya sangat puas. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: