Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Ledakan Penduduk Picu Konflik Tanah (6)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Ledakan Penduduk Picu Konflik Tanah (6)

Padatnya kawasan Surabaya di selatan dan utara Kali Jagir.-Google Earth-

Terjadi ledakan penduduk di Surabaya pasca pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Banyak pendatang masuk dari desa ke Surabaya untuk mengadu nasib.


Sementara itu, luas kota tidak bertambah. Maka terjadilah perebutan tanah untuk tempat tinggal dan pendudukan liar (wilde occupatie) di atas tanah kosong.

Diantara para pendatang itu banyak juga yang warga asli Surabaya. Mereka terusir dari rumahnya saat sekutu mencoba merebut kembali daerah jajahannya. Yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945.

Saat situasi kondusif mereka kembali ke Surabaya dan mendapati rumahnya rata dengan tanah akibat perang atau sengaja dirobohkan. Ada juga yang sudah ditempati orang lain. Ini memicu konflik antar warga hingga terjadi pertengkaran. 

“Banyak yang tidak bisa menemukan kembali tempat tinggalnya itu mendirikan rumah seadanya,” tulis Dr. Sukaryanto dalam bukunya Reforma Agraria Setengah Hati.

Mereka mendirikan rumah gubuk di tanah kosong, atau di bantaran sungai. Maka terjadi kesemrawutan dan kekumuhan di Surabaya. 

Pemkot mulai mengambil sikap. Dinas Perusahaan Tanah dan Rumah yang pada zaman Gemeente Hindia Belanda disebut Grond en Woningbedrijf menawarkan solusi. Warga diminta membongkar gubuknya lalu menawarkan relokasi ke tanah layak huni dengan luas 50 meter persegi. Lagi-lagi pakai sistem tuan tanah tinggalan Belanda. 

Pada 1950-1954 pemkot berhasil merelokasi 2.702 bangunan dengan luas 32,55 hektare. Upaya itu tidak membawa dampak signifikan. Yang datang malah semakin banyak. Aparat pemkot kewalahan.

Yang mendapat sewa rumah mengadu ke kawannya di desa. Bahwa pendatang yang mendirikan rumah liar bisa mendapat rumah ganti dari pemkot. 

Pemkot harus menggandeng pihak militer untuk menertibkan bangunan liar tersebut. Pada 1954 muncul lah Peraturan Militer Nomor 02 tahun 1954 tentang Larangan Mendirikan Bangunan Liar. Denda bagi pelanggar mencapai Rp 75 hingga Rp 300.

Dua tahun kemudian, pemkot menyadari bahwa  merelokasi pendatang bukanlah solusi. Tindakan paksa pun diambil dengan melibatkan kepolisian dan tentara. Gubuk-gubuk dibakar. Sementara penghuninya diusir dari kota. Bentrok sempat memakan korban di Dukuh Pakis. Namun praktik seperti itu bak jamur di musim hujan. Sulit dihalau.

Sementara mereka yang sudah direlokasi mulai menuntut pengesahan haknya melalui beberapa organisasi. Pada 1956 terdapat 38 organisasi Panitia Perjuangan Tanah (PPT). Upaya pengajuan ke pemkot ditolak. 

Namun mereka tak patah semangat. Keberanian itu muncul karena ada kekuatan politik besar yang memayungi. Yakni PKI yang membawa misi redistribusi tanah. “Makanya PKI pernah menang mutlak pada Pemilu 1955 di Surabaya,” ujar dosen luar biasa MKWU Unair Mulyadi J. Amalik.

Setelah UUPA muncul, tanah itu seharusnya ditarik ke negara lalu didistribusikan ke warga. Nah, dalam tahapan ini PKI melakukan upaya sepihak dan tergesa-gesa. Tanah-tanah tersebut langsung didistribusikan tanpa melalui negara. 

Ujungnya meletuslah peristiwa berdarah G 30 S PKI. Penertiban dilakukan di segala lini. Termasuk penguasaan tanah. 

Inilah yang disebut reforma agraria pertama. Reforma yang dilakukan tanpa perubahan status hak tanah, Atau Indonesiaisasi itu disebut oleh Doktor Sukaryanto sebagai  pseudo reforma agraria. Alias reforma agraria setengah hati. (Salman Muhiddin)

Sewa Tanah Diperhalus Jadi Retribusi, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: