Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Diberikan ke Rakyat Tapi Tidak Bisa Didaftarkan (7)
Sampul map izin pemakaian tanah (IPT) Surabaya berwarna hijau. Inilah yang menjadi asal usul surat ijo.-Salman Muhiddin/Harian Disway-
Pemkot Surabaya menertibkan permukiman liar dan gelandangan sepanjang 1966-1977. Mereka yang direlokasi mendapat rumah sangat sederhana (RSS) dengan ukuran tak lebih dari 50 meter persegi.
Banner Surat Ijo-Salman Muhiddin/Harian Disway-
Para pendatang berebut ruang kota dengan masyarakat yang sudah ada. Banyak diantaranya tinggal di bekas tanah partikelir yang dikuasai gemeente yang kemudian dikuasai pemkot pemkot.
Problem permukiman dan status tanah mulai jadi atensi Pemkot Surabaya. Terjadi ledakan penduduk, tapi banyak yang tak punya sertifikat tanah.
Redistribusi pun tanah dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan landreform yang sesuai semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). “Tanah-tanah itu sudah diberikan ke masyarakat, namun tidak bisa didaftarkan sebagai hak milik,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) M. Nazir Salim.
Warga yang berangan-angan dapat sertifikat tanah malah dapat tapi hak sewa. Praktik itu disebut Almarhum Doktor Sukaryanto dengan istilah reforma agraria setengah hati. Kalau mau landreform sepenuh hati, maka tanahnya harus benar-benar diberikan ke masyarakat.
Landreform setengah hati itulah yang nantinya menggelinding bak bola salju. Sampai tercipta problem kota surat ijo yang menyangkut ratusan ribu warga Surabaya. Mereka tinggal di 47 ribu persil tanah yang diklaim sebagai aset pemkot.
Praktik sewa tetap dilakukan meski sudah ada kesepakatan antara Gubernur Jatim, Wali Kota Surabaya, dam Kantor Wilayah Agraria Jatim terkait pengelolaan tanah negara bebas dan tanah kongsi. Salah satu isi kesepakatannya adalah memberikan hak milik melalui prosedur landreform.
Tanah yang dimaksud dalam kesepakatan itu dibagi menjadi tiga tipe. Yakni tanah kosong, ditempati rakyat, atau digarap rakyat.
Di dalamnya ada tanah eks partikelir yang sudah banyak dihuni warga. Seharusnya tanah itu dilepas ke penghuni sesuai UU Nomor 1 Tahun 1958. Lagi-lagi pemkot tetap mencatat tanah itu sebagai asetnya.
Nyatanya kesepakatan tidak diaplikasikan. Sistem juga landreform tidak dilakukan sesuai ketentuan karena pemkot dan DPRD mengeluarkan aturan sewa pada 1971. “Ini agak anomali. Mengapa kok negara menyewakan tanah ke masyarakat. Istilah sewa itu sangat kolonial,” ujar Nazir.
Maka, pada 1977 sistem sewa dihapus. Diganti dengan terminologi retribusi yang menurut Nazir sangat cerdik. Istilahnya diperhalus. Tapi praktiknya sama saja.
Masyarakat kala itu tertarik dengan istilah baru itu. Muncul lagi gembar-gembor bahwa dengan retribusi tersebut bisa dapat sertifikat. Terutama yang sudah tinggal lebih dari 20 tahun.
Gembar-gembor itu ternyata tak benar. Sampai sekarang penghuni tanah surat ijo tetap harus bayar retribusi. Bahkan yang melakukan pemboikotan pembayaran terus diberi surat tagihan. (Salman Muhiddin)
Mendagri Larang Tanah Negara Disewakan, BACA BESOK!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: