Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Tidak Beli Kok Mengklaim Aset Daerah (9)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Tidak Beli Kok Mengklaim Aset Daerah (9)

Reforma Agraria Setengah Hati karya mendiang Doktor Sukaryanto.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Ada alasan kuat mengapa separo dari 47 ribu pemegang surat ijo memboikot pembayaran retribusi ke pemkot. Hal itu bisa dimaklumi karena cara perolehan surat ijo bervariasi. Ada yang melalui program landreform hingga beli tanah dari petani dan pemkot. 


Sejarawan Universitas Airlangga Doktor Sukaryanto mengelompokkan 10 varian tanah surat ijo berdasarkan perolehannya:

  • Tanah Besluit Burgemeester yang dibeli gemeente pada masa lampau.
  • Pengganti bukti atas surat eigendom yang hilang.
  • Pembelian rumah sewa.
  • Penerima redistribusi tanah program landreform.
  • Tanah bekas pendudukan liar.
  • Relokasi untuk permukiman baru.
  • Membeli atau mengganti tanah petani penggarap.
  • Beli ke pemkot atau Yayasan Kas Pembangunan (YKP).
  • Mengikuti penyerahan atau pengalihan tanah oleh instansi di luar pemkot.
  • Tanah PJKA.

Salah satunya adalah pembelian rumah sewa. Pada 1960 pemkot menjual 377 rumah sewa uang tersebar di berbagai lokasi. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena pemkot menderita kerugian untuk biaya perawatan rumah sewa itu.

Setelah melihat isi kesepakatan jual beli, ternyata warga terjebak.Rupanya, uang yang mereka bayar hanya tercatat untuk pembelian bangunan saja. Sementara tanahnya tetap aset pemkot. Mereka terjerat surat ijo sampai sekarang.

Ada juga membeli tanah itu dengan mengganti tanah yang digarap petani. Dibuktikan dengan surat perjanjian atau surat zegel yang mendapat persetujuan dari kepala lingkingan. 

Pada 1975 bukti surat zegel itu ditarik lagi oleh pemkot dalam rangka program pemutihan. Warga membayangkan mereka akan mendapat sertifikat tanah. Namun, pada 1977 mereka malah mendapat izin pemakaian tanah (IPT) sebagai legalitas bermukim. 

Pemkot juga menguasai tanah eks partikelir (swasta) yang ditempati warga sejak zaman Belanda. Mereka bayar kepada tuan tanah. Yang salah satu tuan tanahnya adalah gemeente (pemkot zaman Hindia Belanda).

Pada tahun 1958 pemerintah pusat memerintahkan agar semua tanah eks partikelir dihilangkan. Terbitnya UUPA tahun 1960 juga memerintahkan agar tanah-tanah dibagikan ke warga. 

Nyatanya tanah tersebut tidak didistribusikan oleh pemkot pada era itu. Malah terbit hak sewa yang tidak dikenal di UUPA. Padahal negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya. 

Sukaryanto mewawancarai sejumlah tokoh surat ijo dalam bukunya: Reforma Agraria Setengah Hati. Mereka menyampaiakn rasa kecewanya atas penerapan sistem surat ijo yang merugikan rakyat. “Lha, ora nate tuku kok ndhaku aset, (Lha, tidak pernah beli kok mengklaim sebagai aset),” ujar Bambang Sudibyo yang diwawancarai Sukaryanto pada 2012.

Kalimat itu sampai kini selalu dipegang pejuang surat ijo. Selalu muncul di demonstrasi hingga seminar suratijo. Kalimat itu semakin kuat maknanya kala jabatan Wali Kota ada di tangan Whisnu Sakti Buana. Whisnu yang menjabat sebagai wali kota definitif selama enam hari pada Februari lalu, mengakui bahwa tidak semua aset pemkot jelas asal usulnya. 

Ia siap melepas tanah surat ijo ke negara melalui surat resmi yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kemen ATR/BPN), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. 

Negara diharapkan membagikan tanah itu ke penghuni yang sudah menempati tanah surat ijo lebih dari 20 tahun. Cuma dibatasi persil hunian. Jumlahnya mencapai 39 ribu persil dari total 47 ribu surat ijo. 

Sikap Whisnu itu semakin mempertegas bahwa pemkot tak selamanya benar. Ada kesalahan masa lalu yang tidak ada salahnya diakui sekarang. Untungnya, Wali Kota Eri Cahyadi yang meneruskan kepemimpinannya juga berjanji meneruskan apa yang sudah dilakukan Whisnu tersebut. Sehingga perjuangan warga surat ijo mulai direspons.

Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) akan memasang spanduk baru di setiap persil surat ijo. Tertulis bahwa Tanah Negara Bukan Aset Pemkot. Dalam Advokasi KPSIS. “Ini masih contoh. Nanti akan dipasang serentak,” ujar Kabiro Perlengkapan KPSIS Sugiono Batubara kemarin (18/4). (Salman Muhiddin)

Mengenal Bekas Tanah Eigendom , BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: