Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Mulai Memberontak Sejak Presiden Soeharto Lengser (14)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Mulai Memberontak Sejak Presiden Soeharto Lengser (14)

Presiden Kedua Indonesia Soeharto melambaikan tangan.-IST-

Selama orde baru penghuni tanah surat ijo tak berani protes. Saat hegemoni pemerintahan Soeharto runtuh pada 1998,  mereka punya kebebasan mengeluarkan aspirasi yang selama ini dipendam.


Gerakan perlawanan bermunculan saat reformasi. Banyak yang membentuk kelompok berdasarkan kawasan. Antara lain Gerakan Rakyat Anti Surat Ijo Surabaya (Geratis) di kawasan Bratang Gede, Gerakan Pembebasan Surat Ijo Surabaya (GPSIS) di Ngagel Tirto, Gerakan Rakyat Perak Barat (GRPB), Komunitas Penghuni Tanah Bekas Eigendom, dan beberapa komunitas lain. 

Mereka mulai menggelar aksi masa demo di Balai Kota dan DPRD Surabaya, pemboikotan hingga menempuh jalur peradilan. Cara mereka berbeda, namun tujuannya tetap satu: menghapus rezim surat ijo.

Definisi izin pemakaian tanah (IPT) jadi berubah total. Mereka mulai merasa bahwa IPT adalah produk bentukan orba yang bobrok. Perda Nomor 1 Tahun 1977 dan Perda Nomor 1 Tahun 1997 tentang IPT pun mulai dikritisi.

Warga menemukan ketentuan itu sudah tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah.

Permendagri tersebut melarang gubernur, wali kota, atau bupati memberikan tanah negara dengan suatu hak atau izin ke pihak lain. Dalam kata lain pemerintah pusat tak mau kekuasaan tunggalnya atas tanah diberikan ke pihak lain.

Maka sistem retribusi yang diterapkan sejak 1977 dianggap melanggar ketentuan. Mereka juga menuntut pemkot untuk mengikuti ketentuan landreform pada undang-undang pokok agraria (UUPA) 1960. Bekas tanah hak barat dikembalikan ke negara lalu didistribusikan ke warga.

Namun aspirasi itu tak didengar. Pemerintah menganggap Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 itu sudah tidak berlaku. Diganti dengan Peraturan Menteri Agraria (PMNA) Nomor 3 1999 tentang Pelimpahan kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

“Namun, setidaknya permendagri itu pernah berlaku selama 1972-1999,” tulis Sukaryanto dalam bukunya, Reforma Agraria Setengah Hati. Bahkan menurut warga, PMNA  3/1999 yang menggantikan permendagri itu sebenarnya tak membawa dampak hukum signifikan terhadap surat ijo. Ketentuan itu tidak mengatur pelimpahan kewenangan ke kepala daerah terkait keberadaan tanah negara di wilayah masing-masing.

Selain itu warga juga mengaitkan persoalan surat ij dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tanah yang dihuni warga 20 tahun berturut-turut bisa disertifikatkan. (Salman Muhiddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: