Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Semua Komunitas Bersatu di PMPMHMT (15)
Reforma Agraria Setengah Hati karya mendiang Doktor Sukaryanto.-Salman Muhiddin/Harian Disway-
Muncul gerakan perlawanan dari warga surat ijo pasca tumbangnya orde baru. Muncul sejumlah kelompok surat ijo yang bersatu berdasarkan kawasan yang mereka tinggali.
Antara lain Gerakan Rakyat Anti Surat Ijo Surabaya (Geratis) di Bratang Gede, Gerapak Pembebasan Surat Ijo Surabaya (GPSIS) Ngagel Tirto, Gerakan Rakyat Perak Barat, hingga Komunitas Tanah Bekas Eigendom (KTBE). Semuanya bersatu pada 2003 menjadi Perhimpunan Masyarakat Peserta Meraih Hak Milik Tanah (PMPMHMT).
Yang memimpin bukan orang sembarangan. Mereka adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair Prof Kabat serta Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Unair.
Mereka mengumpulkan kekuatan besar dengan anggota akademisi, praktisi hukum, purnawirawan, pensiunan PNS, pengusaha hingga buruh.
Mereka mengedukasi penghuni surat ijo dengan menerbitkan buku saku. Isinya menentang sistem retribusi surat ijo yang dianggap berseberangan dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika warga diam saja dengan kebijakan pemkot, maka tanah yang mereka tempati puluhan tahun itu tidak akan bisa jadi hak milik.
Buku kecil itu dicetak 15 ribu eksemplar pada 2014. Di bagian akhir terdapat peringatan menohok: Pemkot Surabaya adalah abdi rakyat, pegawai rakyat, pelayan rakyat,digaji oleh rakyat, dan bukan pemilik tanah Negara. Hentikan, jangan membodohi rakyat, segera kembalikan tanah rakyat agar tidak menimbulkan gejolak sosial yang fatal.
Setelah surat itu beredar warga mulai bergerak turun ke jalan. Demonstrasi digelar di depan balai kota dan DPRD. Komunitas yang terpencar telah menyatu.
Mulai saat itu warga kompak tak mau bayar retribusi. Bahkan informasinya yang mengikuti pemboikotan bayar mencapai 35 ribu orang. Itu lebih dari separo pemegang surat ijo.
Para akademisi di PMPMHMT juga mensosialisasikan bahwa tanah surat ijo bukan aset pemkot. Perda dan perwali yang dikeluarkan dianggap cacat hukum.
PMPMHMT juga mengatur strategi dengan mengelompokkan tanah surat ijo jadi tiga bagian. Yaitu tanah yang sudah bersertifikat HPL, belum bersertifikat HPL, serta yang sudah punya hak pakai (HP).
Masing-masing memerlukan strategi penyelesaian yang berbeda. Namun pada intinya pemkot tidak berhak atas tanah negara yang seharusnya di distribusikan ke rakyat sejak berlakunya UUPA. (Salman Muhiddin)
Rapat Akbar Pertama, BACA BESOK!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: