Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Beda Cara Satu Tujuan (21)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Beda Cara Satu Tujuan (21)

Pejuang Surat Ijo KPSIS asal Peneleh menggelar demo di kantor DPRD Surabaya 2020.-Eko Suswantoro/Harian Disway-

Ada beberapa kelompok pejuang surat ijo di Surabaya. Mereka terpisah karena menempuh jalur perjuangan yang berbeda. Ada jalur diplomasi, politik, dan ada juga yang agresif melawan di meja pengadilan hingga turun ke jalan. Meski berbeda, tujuan mereka tetap satu: memerdekakan surat ijo.


Perjuangan lewat jalur diplomasi kini membuahkan hasil. Wali Kota Whisnu Sakti Buana mengirim surat resmi ke pemerintah pusat. Lewat Whisnu, pemkot untuk kali pertama mengakui bahwa tanah aset yang dikuasai pemkot tidak semuanya jelas asal usulnya. 

Ia meminta  Kementerian Dalam Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadi penengah untuk menyudahi konflik vertikal antara pemkot dan 48 ribu pemegang surat ijo. Kebijakan Whisnu diteruskan oleh Wali Kota Eri Cahyadi. Setelah pemkot memberi lampu hijau, kini pelepasan ada di tangan pusat.

Sementara itu jalur gugatan selalu gagal. Warga selalu kalah karena mereka tidak punya alas hak atas tanah. Namun upaya gugatan itu punya andil besar dalam terbongkarnya kecurangan surat ijo. Warga terus mendesak pemkot menunjukkan bukti kepemilikan tanahnya. Satu per satu informasi dihimpun dari persidangan.

Berkali-kali warga meminta data ke pemkot, tapi tak pernah diberikan. Mereka menanyakan alas hukum pemkot atas rumah yang mereka tempati puluhan tahun. 

Warga yang biasanya menggugat juga melaporkan pemkot ke Komisi Informasi Jatim. Dalam sidang,  pihak pemkot akhirnya menunjukkan dua SK HPL di kawasan Gubeng dan Perak Barat.

SK HPL 53 dan 55 Tahun 1997 itulah yang membuka tabir kecurangan pencatatan aset surat ijo oleh pemkot. SK tersebut mengharuskan pemkot melihat kawasan yang akan diproses. Jika sudah dihuni, maka harus ada ganti rugi ke warga atau persil tanahnya dikeluarkan dari peta SK HPL. 

Nyatanya, kewajiban itu tidak dilakukan. Warga merasa tidak pernah diajak komunikasi. Tahu-tahu setiap tahun ditagih retribusi.

Kecurangan yang terkuak itu dilaporkan ke Wali Kota Whisnu Sakti Buana yang meneruskan masa jabatan Tri Rismaharini yang dilantik jadi Mensos RI. Whisnu pun membuat gebrakan besar atas dasar temuan warga itu.

Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) yang sering melakukan gugatan saat itu menggandeng Whisnu jadi dewan pembina.  Whisnu ikut mengawal proses pelepasan surat ijo meski sudah bukan wali kota lagi.

Sementera Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TESIS) tetap berada di jalur diplomasi. Mereka berhasil menembus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Meski berseberangan, perjuangan dua kelompok besar itu justru saling melengkapi.  (Salman Muhiddin)

Dianggap Status Quo, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: