Hulu Jaminan Produk Halal

Hulu Jaminan Produk Halal

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PELAKSANAAN jaminan produk halal berjalan lamban. Realisasi sertifikasi halal yang ditargetkan mencapai 10 juta pada 2024 jauh dari harapan. Tahun 2022, misalnya, MUI hanya menerima usulan sertifikasi 105 ribu. Semua sudah dituntaskan hingga akhir tahun. Dengan fakta itu, target sertifikasi tahun depan tampaknya sangat sulit dicapai.

Sangat minimnya sertifikasi halal itu cukup memprihatinkan. Sebab, tahun depan ada tiga kategori produk harus sudah bersertifikat halal. Akan ada sanksi bagi yang tidak memenuhinya. Tiga kategori itu terkait dengan makanan dan minuman: produk makanan dan minuman; bahan baku, penolong, dan bahan tambahan pangan; serta produk hasil sembelihan dan jasa sembelihan. 

Ada banyak penyebab mengapa jumlah pengajuan sertifikasi halal itu relatif kecil. Di antaranya, kesadaran pengusaha untuk mengurus sertifikasi halal produknya cukup rendah. Itu juga terkait dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi produk bersertifikat halal. 

Banyak muslim yang menganggap, karena berada di lingkungan masyarakat muslim, produk-produk yang diproduksi otomatis halal. Selain itu, sebagian menganggap bahwa keharaman makanan itu hanya terkait babi. 

Sering kali kehalalan itu hanya persoalan mengandung babi atau tidak. Jika mengandung babi, haram. Mungkin karena babi dan unsur-unsurnya memang begitu banyak digunakan. Bukan hanya dagingnya. Melainkan juga produk-produk turunannya. Apalagi, babi adalah haram sekaligus najis mughaladzah. Yang menyucikannya harus dibasuh tujuh kali dan satu di antaranya dicampur dengan debu.

Sebenarnya, kehalalalan tidak sesederhana itu. Bukan sekadar mengandung babi. Yang tidak mengandung babi pun banyak yang tidak halal. Bisa saja hewan halal menjadi haram karena penyembelihannya tidak sesuai syariah, memasaknya menggunakan bahan penolong tidak halal, atau pengemasannya menggunakan bahan yang tidak halal. 

Ya. Halal itu ada dua dimensi. Halal li-dzatihi (zat atau barangnya halal) dan lighairi dzatihi (bukan zatnya, melainkan prosesnya). Yang rumit adalah yang kedua itu. Sebab, proses pembuatan dan unsur atau zat yang digunakan dalam proses produksi makanan dan minuman cukup kompleks. Banyak unsur di antaranya yang tidak halal. 

Repotnya, sebagian besar masyarakat tidak aware terhadap kehalalan itu. Baik produsen maupun konsumen. Di industri restoran, misalnya, banyak resto yang abai terhadap kehalalan tersebut. Bahkan, mereka enggan menolak atau menginformasikan kepada pembeli yang muslim. Karena label halal belum wajib, yang halal dan yang haram sama-sama tidak memberi label. Konsumen muslim dirugikan karena tak tahu mana yang halal. 

Tahun depan, ketika produk makanan dan produk sembelihan wajib sertifikat halal, produsen makanan harus mengurus sertifikat halal produk. Jika tidak, produsen makanan bisa dikenai sanksi yang cukup berat sesuai Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 202. Sanksi akan diberikan secara bertahap. Mulai peringatan tertulis, denda administrasi, hingga penarikan barang dari peredaran. 

Dari sisi pelayanan, MUI mengeklaim bahwa kapasitas mereka sebenarnya jauh dari jumlah pengajuan sertifikasi. Bahkan, kapasitas terpasang baru 20 persen. MUI menyatakan sanggup membahas dan memproses sertifikasi halal 1 juta pengajuan setiap tahun. 

Penyebab yang lain adalah kurangnya jangkauan pendamping produk halal, penyelia halal, hingga pemeriksa halal. Sebaran produsen produk makanan dan minuman yang sangat luas belum diimbangi dengan sebaran stakeholder sertifikasi halal.  Untuk itu, perlu terus meningkatkan jumlah pendamping halal maupun penyelia halal. 

Rendahnya pengajuan sertifikasi halal juga bisa disebabkan sulitnya memperoleh bahan baku dan bahan penolong halal. Produk makanan berbahan baku kritis (daging), misalnya, kesulitan untuk memperoleh sertifikat halal dari produsen bahan baku. Sebab, sangat sedikit pemasok daging dan ayam yang memiliki sertifikasi halal bahan baku dan bahan penolongnya. 

Dalam sertifikasi halal, hulu menjadi sangat penting. Salah satunya pada produk makanan berbahan baku daging dan ayam. Syarat self declare, misalnya, tidak bisa dilakukan UMKM karena juga tidak bisa memperoleh sertifikasi halal pada bahan baku dan bahan penolongnya. Karena itu, hulunya harus dibenahi lebih dulu. 

Di Indonesia, hanya sedikit rumah potong hewan (RPH) yang sudah bersertifikasi halal. Padahal, itu menjadi syarat bagi produk halal yang menggunakan bahan daging atau ayam. Di Jawa Timur, dari 55 RPH, hanya empat yang sudah memiliki sertifikat halal: Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Malang. Lainnya belum memperoleh sertifikat halal. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: