Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Mempertahankan Kasus Unik dan Tidak Lazim (28)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Mempertahankan Kasus Unik dan Tidak Lazim (28)

Ketua BPN Johahar bertemu dengan P2TESIS. Ketua Dewan Pembina P2TESIS Moch Farid duduk di dekatnya 6 Mei 2021.-P2TSIS-

Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TESIS) telah meluncurkan buku Arek Suroboyo Menggugat: Mengakhiri Praktik Persewaan Tanah Negara di Surabaya tahun lalu. Buku bersampul hijau itu diberikan kepada ke warga dan ke para pejabat negara yang ditemui P2TESIS. 


Banner Surat Ijo-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Ketua Dewan Pembina P2TESIS Moch. Faried memberikan satu buku itu ke Kakanwil BPN Jatim Jonahar pekan lalu. Pada lembar ketiga mereka menyematkan foto Menteri ATR BPN Sofyan Djalil beserta ucapannya 17 Juli 2020.

 

Kala itu Sofyan sedang tersambung secara virtual dengan warga Surabaya. Salah seorang warga menanyakan perihal penyelesaian konflik surat ijo yang tak kunjung ada kejelasan. Kalimat yang muncul dari bibir sang menteri sangat melegakan penghuni tanah surat ijo.

 

Sofyan mengatakan sudah ada upaya sistematis untuk mencari solusi surat ijo yang sudah menjadi konsen pemerintah pusat. Kementerian ATR/BPN akan menentukan mana yang hak pemda dan mana yang sebenarnya bisa dicari jalan lain. Artinya warga bisa mensertifikatkan tanah negara itu apabila pemkot tidak punya hak. Sehingga rakyat mempunyai kepastian. 

 

“InsyaAllah masyarakat surat ijo ini akan kita selesaikan. Kalau tidak hari ini, sabarlah. Pemerintah serius sekali bicara surat ijo,” ujar Sofyan dalam Lokakarya Virtual Sertifikasi Hak Atas Tanah Masjid tahun lalu.

 

Setelah menyerahkan buku itu ke Jonahar, Faried menerangkan bahwa tanah surat ijo adalah salah satu sengketa agraria paling unik. “Inilah ketidaklaziman yang dipertahankan mati-matian,” ujar Bupati Lamongan 1989-1999.

 

Tanah surat ijo adalah tanah-tanah eks penguasaan barat yang ditempeli status izin pemakaian tanah. Istilah itu tidak dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.

Dalam posisi tidak lazim itu keberadaan UUPA seolah-olah dikesampingkan. Atau payung hukum agraria itu hanya berlaku bagi masyarakat tertentu di Surabaya. Yang menggali tanah surat ijo tidak tersentuh UUPA.

 

Warga berada di posisi sangat lemah. Pemkot dan DPRD punya kewenangan membuat peraturan daerah yang semakin menyudutkan warga. Mereka harus bayar pajak bumi bangunan (PBB) plus retribusi tanah yang nilainya jauh lebih mahal. 

 

Dalam kondisi itu Faried memohon Kakanwil yang diberi kewenangan pemerintah pusat untuk menyelesaikan surat ijo bisa berlaku adil. Karena kalau pemkot menang lagi seperti sebelum-sebelumnya, sikap warga tak akan berubah: akan terus memperjuangkan hak atas tanah yang mereka tinggali puluhan tahun itu. (Salman Muhiddin)

 

Belajar ke Makassar, Bandung, Batam hingga Jakarta, BACA BESOK!



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: