Anies dan Reshuffle Rabu Pon

Anies dan Reshuffle Rabu Pon

Anies Baswedan saat memberikan kuliah tamu di Oxford.-Twitter @aniesbaswedan-

Pergantian kepemimpinan nasional, tentu saja, menjadi beban pemikiran serius bagi Jokowi. Selain melakukan perhitungan politik rasional, Jokowi sangat mungkin berkonsultasi dengan penasihat spiritual dan mempelajari referensi-referensi dari primbon politik.

Salah satu yang paling terkenal adalah Jangka Jayabaya, penujuman politik oleh Raja Jayabaya dari Kediri. Menurut Jangka Jayabaya, penguasa Indonesia dikiaskan dalam sebutan ”Notonagoro”. Secara harfiah, itu berarti menata negara. Tapi, oleh para pemercaya klenik, itu ditafsirkan sebagai akronim dari nama-nama presiden Indonesia. ”No” untuk Soekarno, ”To” untuk Soeharto, dan seterusnya.

Ketika Gus Dur (Abdurrahman Wahid) jadi presiden, para pemercaya klenik jadi bingung karena nama Abdurrahman tidak masuk skema Notonagoro. 

Kata Gus Dur, nama Abdurrahman tetap masuk skema akronim Jayabaya, bukan dalam skema Notonagoro, melainkan ”Noto Manconagoro”. Karena itu, setelah Noto (Soekarno dan Soeharto) urutan selanjutnya adalah ”Man” dan ”Co”. "Man" adalah Abdurrahman alias Gus Dur.

Itu tentu guyonan khas Gus Dur. Mana ada Jangka Jayabaya menyebutkan Noto Manconagoro kalau bukan karangan Gus Dur. Bagi Gus Dur yang piawai dan menguasai filosofi kekuasaan Jawa, masalah-masalah mistis dan klenik dihadapi dengan guyonan saja, tidak perlu diseriusi atau dibikin repot.

Tapi, bagi sebagian orang lain, soal klenik dan mistis itu menjadi pertimbangan serius. Jokowi punya hari keramat Rabu yang bertepatan dengan weton, hari kelahirannya. Keputusan-keputusan strategis dilakukan pada hari Rabu dengan mempertimbangkan pertimbangan primbon yang rumit.

Ada ritual seperti memelihara jenis hewan tertentu seperti kodok dan sejenisnya. Ada pantangan-pantangan tertentu seperti tidak boleh berkunjung ke Kediri atau isyarat-isyarat alam tertentu seperti gunung meletus atau sejenisnya.

Para presiden Indonesia, semua dikaitkan dengan Gunung Lawu yang membawahkan wilayah Mataraman. Para presiden disebut sebagai Putra Gunung Lawu. Secara kebetulan, semua presiden Indonesia sekarang ini adalah Putra Gunung Lawu. 

Dalam hal tradisi kejawen itu, Anies Baswedan adalah antitesis Jokowi. Ketika mengadakan perhelatan MotoGP di Mandalika, Jokowi memakai pawang hujan. Ketika menggelar balapan Formula E di Jakarta, Anies tidak memakai dukun hujan, tapi memakai weather forcast yang ilmiah.

Tapi, Anies pun memakai idiom-idiom Jawa untuk memperkuat legitimasi budayanya. Anies memamerkan kegemarannya memelihara ayam dan burung dan suka menonton pertunjukan wayang. 

Rumahnya di Lebak Bulus mempunyai arsitektur joglo khas Jawa. Anies mempunyai rumah joglo di Ponorogo, Jawa Timur, yang direkonstruksi dari bekas bangunan pesantren legendaris Tegalsari. Anies ingin menunjukkan garis legitimasi kepada Kiai Hasan Besari yang melahirkan tokoh-tokoh Islam Mataram abad ke-18. Dengan demikian, Anies juga mendapatkan legitimasi sebagai Putra Gunung Lawu.

Memakai logika slengekan ala Gus Dur dalam menginterpretasikan Jangka Jayabaya, nama Anies Baswedan pun masuk akronim Notonagoro sebagai calon pemimpin Indonesia. Nama Anies masuk pada bunyi terakhir ”Ro”, yaitu Rosyid Baswedan. Gitu aja kok repot. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: