Cheng Yu Pilihan Penulis Buku Tionghoa Alex Cheung: Yin Shui Si Yuan

Cheng Yu Pilihan Penulis Buku Tionghoa  Alex Cheung: Yin Shui Si Yuan

Cheng Yu Alek Cheung--

DITANYA apa yang mendorongnya untuk menulis banyak sekali karya mengenai Tionghoa, Alex Cheung menjawab, "Im sui su goan, kalau dalam dialek Hokkian. Atau 饮水思源 (yǐn shuǐ sī yuán), kalau dalam bahasa Mandarin."

Ini adalah pepatah yang disadur dari salah satu puisi Yu Xin 庾信 (513-581), pujangga besar era Dinasti Utara dan Selatan (Nan-Bei Chao 南北朝). Dituliskan dalam syairnya yang berjudul Zheng Diao Qu (征调曲), "落其实者思其树;饮其流者怀其源" (luò qí shí zhě sī qí shù; yǐn qí liú zhě huái qí yuán): ketika makan buah, ingatlah pohonnya; ketika minum air, ingatlah sumbernya.

Yang dikutip Alex ialah yang disebut belakangan itu. "Maknanya, kita wajib menghormati leluhur dan bersyukur atas berkat yang telah kita terima," terang Alex, yang bersama kawannya menulis buku Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia. Yang lebih 1.600 halaman tebalnya. 

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan: Musisi Guzheng Azalia Faustania: Tai Shang Yi Fen Zhong, Tai Xia Shi Nian Gong

Penulisan buku-buku terkait Tionghoa, khususnya yang berkenaan dengan budaya dan historisitasnya, merupakan bentuk penghormatan serta wujud syukur Alex kepada leluhurnya yang Tionghoa -lebih-lebih terhadap Indonesia, negara yang amat dicintainya. Ia tidak ingin seperti kacang yang lupa kulitnya. 

Tentu usaha Alex layak diapresiasi. Sebab, sepanjang sejarah Indonesia, entah kenapa kita selalu menyaksikan ada momen anti-Tionghoa-nya. Bisa jadi akibat kesalahan persepsi. Namun tidak menutup kemungkinan lantaran adanya kepentingan politis di belakangnya. 

Saat dijajah Belanda, ada Geger Pecinan 1740 yang memakan korban jiwa tak teperikan. Di zaman Orde Lama, ada PP 10/1959 yang memaksa ratusan ribu orang Tionghoa pulang ke Tiongkok. Memasuki Orde Baru, ada G 30 S/1965 beserta serentetan peristiwa mengerikan setelahnya. Menjelang Reformasi, ada Kerusuhan Mei 1998 yang tetap meninggalkan luka mendalam sampai sekarang. Di masa kontemporer pun, terutama sejak 2014, kayaknya masih ada.

Makanya, perlu orang-orang seperti Alex untuk memberikan perspektif alternatif dalam melihat Tionghoa. Bahwa, kacamata yang kita pakai untuk menilik mereka, sudah sepatutnya tidak melulu yang minus-minus saja.

Kini, Alex tengah bekerja sama dengan Wikipedia Indonesia untuk menulis halaman Wikipedia tentang para tokoh Tionghoa di Indonesia.

Maju terus, Ko Alex! (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: