Menghidupkan Seni Surabaya
SALAH SATU karya di Islamic Art Biennale di Jeddah, Arab Saudi.-Arif Afandi untuk HARIAN DISWAY.ID -
Pameran itu menghadirkan berbagai instalasi yang menggabungkan artefak dari museum negara dan teknologi. Dengan bangunan galeri baru yang megah dengan desain yang friendly tidak hanya bagi para seniman. Tapi, juga menyenangkan untuk para keluarga. Di dalamnya ada Biennale Coffee dan Biennale Restaurant dengan waiters perempuan muda yang pintar berbahasa Inggris.
Juga, ada arena main yang membuat anak-anak juga bisa kerasan di arena pameran. Karena itu, Islamic Art Biennale yang pertama itu penuh dengan pengunjung. Mulai anak-anak, remaja, hingga para orang tua. Mereka pun tampak menikmati suguhan baru kesenian yang bertema salah satu ajaran dalam Islam tersebut.
SALAH SATU karya yang dipamerkan dalam acara di Islamic Art Biennale di Jeddah, Arab Saudi.
Poinnya, kesenian bisa menjadi instrumen negara atau kota untuk pembangunan. Tidak hanya untuk mengasah cita dan rasa warganya. Tapi, juga instrumen marketing negara dan kota. Sesuatu yang sudah menjadi alat bagi negara-negara modern di Barat. Dengan menjadikan museum dan galeri sebagai destinasi wisata.
Namun, untuk itu, pemerintah perlu partner seniman yang juga punya visi yang sama. Seniman yang serius bergerak dalam kreativitas. Bukan hanya seniman yang sibuk dengan segala hal formalitas. Sibuk berebut lembaga, tapi tidak pernah berkarya. Seniman dengan kompetensi menajerial dan mampu merangkul berbagai genre dan jenis seniman.
Saya merasakan seniman Surabaya makin tertinggal dalam hal ini. Banyak event kesenian nasional yang tanpa kesertaan seniman dari Surabaya. Misalnya, event Artjog di Yogyakarta, berbagai pameran seni di Jakarta, dan sebagainya. Umumnya, event-event besar hanya menampilkan seniman Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Bali.
Saya mendukung berbagai langkah wali kota Surabaya dalam menghidupkan kembali kesenian Surabaya. Dengan begitu lahir seniman-seniman baru yang diperhitungkan para seniman lain di berbagai tempat. Sekaligus menjadi sumber daya baru bagi berkembangnya industri kreatif di Kota Pahlawan.
Sayang, Dewan Kesenian Surabaya yang seharusnya menjadi mitra utama Pak Wali Kota sibuk dengan keabsahannya sendiri. Bahkan, sampai menggugat keputusan wali kota di pengadilan. Bukan sibuk untuk berkreasi atau menggerakkan kreativitas seniman lainnya. Yang belum tentu nanti bisa efektif perannya meski menang di pengadilan.
Surabaya pernah punya event kesenian yang diperhitungkan para seniman se-Nusantara. Melalui Festival Seni Surabaya (FSS). Festival yang digelar setiap tahun di Balai Pemuda Surabaya. Sebelum balai itu direnovasi dengan bagus seperti sekarang. FSS digelar Yayasan Seni Surabaya (YSS) bersama pemkot dan didukung kalangan swasta.
Tapi, itu terjadi pada 1990-an. Berarti, terjadi tiga dekade lalu. Saat itu pula, banyak seniman Surabaya yang diperhitungkan secara nasional. Ada Amang Rahman, Machfoed, Dwijo, dan masih banyak lagi. Demikian juga seniman teater dan seniman tradisi. Itu membuktikan kita punya jejak sumber daya seniman yang andal.
Saatnya membangun kembali kesenian Surabaya. Pak Wali Kota Eri saya rasa punya mimpi yang sama. Seperti disampaikan saat bertemu dengannya pekan lalu. Sayang, DKS-nya malah sibuk berkonflik sendiri. Sehingga pemkot kehilangan mitra strategis dalam membangun kesenian di kota ini.
Ayo, bangun para seniman Surabaya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: