Sri Mulyani, Gayus, dan Rafael Alun
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PEPATAH Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak. pajak dan mati sama-sama tidak bisa dihindari. Sampai ke lubang semut pun, petugas pajak akan mengejar Anda. Dalam terminologi agama, kematian pasti akan datang meski Anda berada dalam perlindungan benteng yang kokoh.
Pepatah itu menyamakan mati dengan pajak. Artinya, tanpa pajak, kita bisa mati. Kalau mencuri uang pajak atau menggelapkan pajak, hukumannya bisa hukum mati. Petugas pajak memburu wajib pajak seperti malaikat maut. Setiap tahun kita dikejar-kejar oleh petugas pajak untuk segera menyelesaikan SPT (surat pemberitahuan) pajak.
Uang pajak adalah barang sakral. ”The taxpayer’s money” harus dimanfaatkan untuk kepentingan pembayar pajak. Korupsi terhadap uang pembayar pajak adalah kejahatan paling berat dalam demokrasi.
Di Indonesia tidak ada istilah uang pembayar pajak. Kalau seseorang melakukan korupsi, ia disebut mencuri uang negara, bukan uang pembayar pajak. Padahal, uang negara itu berasal dari pembayar pajak. Karena itu, para koruptor merasa santai saja karena mereka tidak merasa mencuri uang pembayar pajak yang dibayarkan oleh para pedagang kaki lima.
Pajak berhubungan langsung dengan demokrasi. Tidak ada pajak tanpa demokrasi. Jargon demokrasi menyebutkan ”no tax without representation” (tidak ada pajak tanpa keterwakilan demokrasi di dewan). Karena itu, pajak sangat esensial bagi demokrasi. Menggarong uang pajak sama dengan meruntuhkan fondasi demokrasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikenal sebagai orang yang paling getol mencari uang dari pajak. Mungkin tidak sama dengan Malaikat Izrail sang pencabut nyawa. Tapi, mungkin agak mirip dengan Grim Reapper, malaikat pencabut nyawa dalam folklor Barat, yang membawa senjata sabit tajam dan memakai jubah hitam bertopeng. Grim Reapper memburu mangsa sampai ke lubang semut.
Beberapa hari terakhir ini Direktorat Pajak yang dibawahkan Sri Mulyani menjadi sorotan. Sebab, salah seorang pejabatnya ketahuan menyembunyikan hartanya dengan tidak melaporkannya kepada negara. Kasusnya berawal dari perkelahian anak-anak muda gegara pacar, tapi kemudian merembet menjadi kasus yang bisa menjadi skandal pajak.
Pejabat pajak itu bernama Rafael Alun Trisambodo. Anak kandung Alun bernama Mario Dandy Satrio, 20 tahun, terlibat peristiwa kriminal penganiayaan terhadap David Latumahina, 17 tahun. Mario menganiaya David sampai pingsan dan koma.
Peristiwa itu viral dan menjadi trending topic. Kasus tersebut menjadi viral karena akun media sosial Mario sering memamerkan kekayaan ayahnya berupa koleksi motor gede Harley-Davidson. Mobil Jeep Rubicon yang dipakai Mario mendatangi David ternyata tidak masuk daftar kekayaan Rafael Alun.
Dari sekadar kasus penganiayaan, kasus itu akhirnya melebar karena netizen menyoroti gaya hidup Mario yang kerap pamer barang mewah seperti motor gede. Netizen kemudian menelusuri harta orang tua Mario dan terbongkarlah beberapa aib yang bisa mencoreng reputasi Kementerian Keuangan.
Orang tua Mario, Rafael Alun Trisambodo, ternyata tidak melaporkan seluruh harta kekayaannya dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Rafael Alun disorot netizen lantaran harta kekayaannya yang dinilai fantastis. Rafael memiliki harta kekayaan Rp 56,1 miliar.
Situasi menjadi tambah runyam karena ayah David, Jonathan Latumahina, ternyata menjadi pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor pimpinan Yaqut Cholil Qoumas. David Latumahina diketahui telah menjadi seorang mualaf.
Gus Yaqut yang juga menjabat menteri agama menjenguk David dan mengunggah di akun media sosialnya dengan mengatakan ”anak kader saya adalah anak saya juga, catat itu”. Cuitan bernada kesal tersebut membuat kasus itu makin panas.
Sri Mulyani bertindak cepat dengan mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya. Dia minta Rafael diperiksa secara teliti agar bisa diberi hukuman sesuai tindakan indisipliner yang telah dilakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: