Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober: "Kotoran Anjing" untuk Bing (3)

Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober:

Di rumahnya di Jalan Putro Agung, Surabaya yang juga tempat Sekolah Mandala berdiri, Soe Tjen Marching bercerita lagi kisah yang dituturkan ibunya, Yuliani, kepadanya sebagai pengingat tentang gerakan 1 Oktober 1965. -Elvina Talitha-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Kehidupan dalam penjara membuat Oei Lian Bing begitu menderita. Tubuhnya kurus kering tanpa asupan gizi. Papa Soe Tjen Marching itu dilanggar kemanusiaannya. Sampai-sampai istrinya mengirim makanan "kotoran anjing".

 

Wajah Yuliani mendekat ke jeruji besi. Hari masih sore, matahari masih tampak. Namun tak secercah pun cahaya masuk ke lubang-lubang atap dinding bui. Memang sengaja dibuat gelap, mencekam, untuk menekan psikis para tahanan yang ada di dalamnya.

 

Napas-napas parau berseling batuk. Dalam tiap tarikan terdengar rintihan. Seekor kecoa melintas, tapi langkahnya dihalangi telapak tangan. Seorang pria menangkapnya, memegang tubuh kecoa itu dan hendak menyantapnya. 

 

"Pa!," seru Yuliani. Pria itu menghentikan niatnya ingin memakan kecoa hidup-hidup. Lalu menatap keluar jeruji besi. Sebenarnya ia senang ketika Yuliani datang. Namun, antusiasme itu tak mampu diluapkan, karena tubuhnya terlampau lemah. 

 

"Kamu ke sini lagi?," tanyanya. Ialah Oei Lian Bing, suami Yuliani. Dia menepuk tangan Bing hingga kecoa itu lepas. Lantas serangga itu berlari entah ke mana, hilang ditelan pekatnya penjara.

 

"Saya sudah kirim makanan untuk papa. Makan itu saja. Jangan makan yang aneh-aneh," kata Yuliani. Bing menatapnya, "Di penjara ini kami tidak diberi makanan. Kalau pun diberi, enggak manusiawi. Makanya kami menangkap apa pun yang lewat. Mau jangkrik, kecoa, tikus, asal bisa dimakan," ujarnya.

 

Lalu Bing menatap mata istrinya. Tampak genangan air mata. Berkaca-kaca. "Eh, makanannya mana?," tanya Bing. "Sudah saya titipkan sipir". Bing tampak kecewa dengan jawaban itu. Lantas mengusap kepalanya, menggaruk-garuk rambutnya. Lalu meletakkan dua telapak tangan di jidat.

 

"Oalah. Jelas dipangan dewe karo wonge!," serunya lemah. Katanya, makanan yang dititipkan pada para sipir, akan dimakan oleh mereka sendiri.

 

Benar. Ketika esok pagi Yuliani datang kembali, dia bertanya, apakah makanan itu diberikan langsung oleh sipir padanya? Ternyata tidak. Makanan itu mereka makan sendiri. Seperti biasa, hanya sedikit yang diberikan pada para tahanan yang dianggap terlibat organisasi terlarang itu. 

 

Kebetulan saat itu datang isteri penjenguk lain yang merupakan kawan dari Bing. Sebagai sesama perempuan, mereka berbincang soal kiriman makanan. Hingga perempuan itu memberi masukan pada Yuliani, bahwa jika mengirim makanan, kemaslah sejelek-jeleknya. Jangan memberi makanan dengan bentuk yang bagus. "Supaya sipirnya enggak doyan. Dikira makanan sampah," katanya.

 

Saran itu pun dilakukan oleh Yuliani. Keesokan hari, dia mencampur nasi dengan telur, sayur dan tumbukan krupuk. Lalu meremas-remas semua bahan dan dibentuknya menjadi seperti kotoran anjing. Usaha itu berhasil. Sipir penjara yang memeriksa makanan yang dibawa Yuliani, enggan menyantap makanan itu. Mereka pun memberikan nasi "kotoran anjing" itu pada Bing. 

 

Sejak saat itu kesehatan Bing mulai membaik. Di dalam penjara, ia sama sekali tidak pelit. Makanan yang diberikan dari istrinya, dibagi juga untuk teman-teman sepenjara yang tidak dapat kiriman makanan dari keluarga. Maka waktu keluar dari penjara, Bing tetap kurus kering. 

 

Terlebih sejak ia mendengar kabar kelahiran anak ketiganya. Saat Bing ditahan, Yuliani sedang mengandung anak ketiga. Maka saat melahirkan, suaminya tak berada di sisinya. Dalam kesulitan ekonomi, Yuliani sampai memberi air tajin atau air rebusan beras untuk anak ketiganya itu.

 

Kisah itu dituturkan Soe Tjen, anak keempat Bing dan Yuliani. Bungsu yang lahir pada 1971. Sejak kecil hingga dewasa, dia merasakan langsung kebencian dan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Karena Soe Tjen merupakan anak tahanan politik (tapol).

 

Apalagi ia keturunan Tionghoa yang dipinggirkan oleh rezim Orde Baru. "Sudah anak tapol, Tionghoa pula. Kebencian orang pada saya, pada keluarga saya, dobel-dobel. Terutama mereka yang terpengaruh propaganda Orde Baru," kata Soe Tjen. 

 

Namun, berbeda dengan tapol non-Tionghoa yang cenderung dipojokkan oleh kaumnya sendiri. Keluarga Soe Tjen meski dianggap keluarga tapol, justru mendapat bantuan dari sesama warga Tionghoa.

 

"Mama saya pernah cerita bahwa beliau dulu buka toko kecil. Seorang kawan papa yang Tionghoa datang. Memberi lampu kecil berornamen unik, disuruh dipasang di atas toko," ujarnya. Lampu itu rupanya kode agar kawan atau kerabatnya sebagai sesama Tionghoa datang untuk meramaikan toko Yuliani. 

 

Berkat lampu itu, beberapa warga Tionghoa datang dan membeli barang dagangan milik Yuliani. Sehingga ekonomi mereka pun sedikit terbantu. "Berbeda dengan kebanyakan non-Tionghoa yang sempat saya wawancarai. Kalau sudah dapat predikat tapol, ET atau eks-tapol di KTP-nya, dikucilkan," ujar dosen SOAS University itu.

 

Ketika lahir, Soe Tjen dan keluarganya menempati rumah kecil di daerah Darmo Kali, Surabaya. Saat itu papanya telah bebas. Tapi kehidupan penjara dan kegetiran-kegetiran yang diterima dalam hidupnya membentuk pribadinya menjadi keras dan tegas. 

 

Bahkan saking kerasnya, Soe Tjen gemetar saat tahu papanya datang ke rumah. Sama sekali tak berani mengganggu. Tapi sikap itu justru menjadi pertanyaan yang mengganjal di benak Soe Tjen. Ada apa dengan masa lalu papa? Sampai anak-anak kena dampaknya. 

 

Hingga diskriminasi itu dirasakan secara langsung, untuk pertama kali, sejak keluarganya memutuskan pindah, dari Jalan Darmo Kali ke Putroagung. (Heti Palestina Y-Guruh Dimas Nugraha)

 

Indeks: Mengolok "Cino" dengan pandangan benci, baca selanjutnya...

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: