"Menang" Kenang Tragedi Kanjuruhan dalam Instalasi Obed Bima Wicandra

Seorang pengunjung berada di antara instalasi karya Obed Bima Wicandra yang memuat 135 nama korban Tragedi Kanjuruhan.-Syahrul Rozaq-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Lampu remang dan redup. Bagian belakang ruang LOOK Galeri FHIK Petra Christian University (PCU) itu didesain suram. Lembaran kertas kuning kecokelatan tergantung. Berisi nama-nama. 

Lembaran kertas paling depan, terayun. Tak seperti kertas-kertas lain yang penuh dengan nama. Kertas itu memuat enam nama. Di bagian terakhir tertulis: Farza Dwi Kurniawan. Di bawahnya lagi adalah tulisan RIP di tengah gulungan awan. Tanda ungkapan duka cita." Tertera 135 nama korban tragedi Kanjuruhan. Sejarah kelam sepakbola Indonesia di situ," kata Obed Bima Wicandra, pembuat instalasi.

Karya dengan ratusan nama itu ada di sudut paling muram, di antara karya-karya ilustrasinya yang lain. Tentu nama Farza ditempatkan paling depan. Sebab ia korban tragedi Kanjuruhan ke-135 yang meninggal dunia di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang pada 23 Oktober 2022.

Tragedi dalam olahraga itu dikenang sebagai peristiwa besar yang memicu respons beragam pihak dari berbagai dunia. Mengecam bahkan mengejek lambannya penanganan terhadap peristiwa itu.

Itulah taji sepakbola. Tak sekadar permainan, tapi juga representasi ekspresi dari individu, kelompok bahkan negara. Hanya sepakbola yang mampu memberikan daya gugah luar biasa pada peradaban. 

Bahkan seorang pemimpin dapat menyombongkan negaranya, serta menganggap bahwa negaranya superior ketika tim negara itu mampu memenangkan kompetisi. Di sisi lain, ada yang merasa terinjak dan tertekan ketika tim kesayangannya kalah. 

Itulah beberapa keistimewaan sepakbola yang diungkap Obed dalam pameran tunggal ilustrasi bertajuk Menang. Pameran selama 2 hingga 12 Mei 2023 itu mengusung tema-tema tragis yang pernah terjadi.

Rupanya peristiwa Kanjuruhan yang melibatkan gas air mata bukan yang pertama. Dalam karya Obed berjudul Satu Nyawa Manusia mengungkap kejadian serupa di Stadion Gelora 10 November, Surabaya. "Tepatnya pada 2012. Kericuhan dan penggunaan gas air mata menjadi penyebab kematian seorang suporter. Namanya Purwo Adi Utomo," terang pria asli Kediri itu.

"Kita sering berdalih, sepakbola tak sebanding dengan nyawa. Apa benar? Bukankah satu nyawa hilang saja sudah termasuk tragedi kemanusiaan? Di mana kita saat itu?," ujarnya.

Karya yang berada di dinding galeri bagian depan itu adalah sebuah kritik. Bahwa seseorang justru tak mampu melihat atau menghiraukan peristiwa yang terjadi di lingkungan terdekat. (Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: