Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Terpaksa Jujur agar Selamat (20)
Soe Tjen kerap merenung dan bersedih, terutama ketika mengingat pengalaman-pengalaman kelam korban '65 yang pernah didengarnya.-Soe Tjen Marching-
HARIAN DISWAY - Perempuan tua itu bercerita bahwa pada satu momen, beberapa agamawan datang untuk memberi siraman rohani untuk tahanan. Termasuk dia. Mereka harus memilih satu agama yang diakui pemerintah.
Sebelum tragedi 1965, agama benar-benar ditempatkan dalam ranah personal. Masyarakat memiliki agama yang beragam. Mereka yang muslim dapat beribadah sesuai keyakinannya. Mereka yang menganut kepercayaan lokal pun bebas melakukan ritual atau ibadah.
Begitu pun dengan agama-agama yang berakar pada budaya Tionghoa. Seperti Tao dan Konghucu. Mereka dapat menggelar perayaan besar, mempertontonkan kebudayaan leluhur di ruang-ruang publik. “Tapi setelah ’65, pemerintah Orde Baru hanya mengakui lima agama. Di luar itu, seseorang tidak dapat memiliki KTP sebagai identitas diri,” ungkap perempuan tua itu pada Soe Tjen.
Seseorang yang mempertahankan keyakinannya meski tak diakui, bisa dengan mudah dituduh PKI atau subversif. Bahkan anti-Pancasila. Sebab menurut versi pemerintah saat itu, Pancasila mensyaratkan religiusitas.
Orang-orang Tionghoa yang beragama Tao atau Konghucu, boleh beribadah secara tertutup. Begitu pun bagi mereka yang menganut kepercayaan lokal. “Tapi untuk kolom agama di KTP, mereka tetap harus memilih satu di antara lima agama,” terang perempuan yang usianya lebih dari 80 tahun ketika itu.
Begitu pun para tahanan politik, misalnya eks Gerwani seperti dirinya. Sebelum disuruh memilih agama, pihak berwenang mendatangkan pemuka-pemuka agama untuk memberikan siraman rohani. Pria-pria pemuka agama itu datang dengan jubah khas mereka masing-masing. Yang Islam, mengenakan baju koko, berpeci. Kadang bersarung atau mengenakan celana panjang.
Pastor Katolik mengenakan jubah pastornya. Pun dengan pendeta Hindu atau Buddha. Mereka menggunakan pakaian khas agama tersebut. “Kemudian kami disuruh memilih agama yang diakui. Saya pilih Katolik. Karena memang saya Katolik. Kerabat-kerabat yang lain pun begitu,” ujarnya.
Tak disangka, kawannya yang dulu anggota Gerwani, yang pandai menangkap ular di penjara dan memasaknya, juga memilih Katolik sebagai agamanya.
Padahal keluarga besarnya sebagian besar muslim. “Saya tanya, kok masuk Katolik? Dia jawab sekenanya: Kalau saya pilih Islam, capek disuruh sembahyang lima kali sehari,” katanya, kemudian terkekeh, lalu melanjutkan,
“Kalau masuk Katolik, paling-paling cuma disuruh nyanyi-nyanyi dan berdoa tiap hari Minggu”.
Saat pastor sedang khotbah dan mengajak untuk berdoa, mata perempuan itu tak pernah terpejam. “Saya sempat menengok sejenak. Matanya memang tak pernah menutup. Sepertinya dia memang tak ingin terlena,” ujarnya.
Lalu pernah pula perempuan itu mengeluhkan tentang ayat-ayat yang disampaikan. Selalu sama dan berulang-ulang: Jangan membalas dendam pada orang yang berbuat jahat padamu. Jika orang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.
“Mereka selalu mengulang ayat itu pada kita. Kenapa, ya? Apa memang hanya pipi kita saja yang patut ditampar? Mengapa ayat itu tidak disampaikan saja pada orang-orang yang sering memukuli kita? Begitu tanyanya,” ungkapnya.
Setelah kedatangan para pemuka-pemuka agama itu, perlakuan sewenang-wenang pada para tahanan mulai berkurang. Mereka sudah mulai bisa tidur nyenyak. Namun pada suatu malam, perempuan tua itu dipanggil. Menemui seseorang penjaga yang menawarinya makanan enak.
“Saya makan waktu itu. Kapan lagi bisa makan enak? Saya begitu lahap. Tapi belum selesai makan, makanan itu mendadak dibungkus. Saya diajak berbicara tentang karib Gerwani saya itu,” kenangnya. Para penjaga memergoki bahwa si Gerwani paruh baya itu menulis sesuatu. Kertas yang digunakan adalah potongan lembaran kitab suci yang ditindas dengan arang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: