Pesan Politik NU
INILAH sosok penentu arah NU. Ketua Mustasyar KH A. Mustofa Bisri (tengah), Rais Aam KH Miftachul Ahyar (kiri), dan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf bertemu di Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, Sabtu, 13 Mei 2023. -Arif Afandi untuk Harian Disway-
Nah, yang dilakukan NU sekarang, lanjut Gus Yahya, adalah melakukan konsolidasi jangan sampai warga NU khususnya dan masyarakat pada umumnya terpecah belah gara-gara politik. Ia tampaknya ingin agar pengalaman dalam setiap perhelatan politik nasional yang memecah belah warga NU di masa lalu tidak terjadi lagi.
”Yang terpenting saat ini, kita menjaga keselamatan dan keutuhan bangsa Indonesia. Tentu saja, sambil waspada. Kalau pada suatu titik diperlukan, ya kita bertindak. Apa boleh buat. Saat diperlukan, siap bertindak, siap bertindak, siap bertindak. Itu NU,” ujarnya penuh semangat.
Konstruksi Baru
Meski baru setahun memimpin NU, berbagai langkah konsolidasi PBNU telah menunjukkan pergeseran konstruksi politik NU yang baru. Ada mekanisme baru organisasi yang dibikin untuk mengonsolidasikan jamiyah dari tingkat atas sampai grassroots.
Perubahan itu seharusnya menjadi bacaan elite-elite partai politik yang memperebutkan suara demi kepentingan pemilihan presiden maupun anggota legislatif. Secara politik, NU tegas tak akan ikut politik praktis. Itu diperkuat dengan larangan mandataris pemimpin NU –rais aam dan wakilnya serta ketum dan waketum– terlibat dalam partai politik.
Konstruksi baru tentang organisasi alias jamiyah NU tersebut terus diperkuat melalui mekanisme dan ketegasan sesuai dengan AD/ART. Langkah membangun kultur baru organisasi sesuai dengan kultur modern itu terus dilakukan. Tidak hanya dalam kaitannya menjaga keutuhan NU dari guncangan politik, tapi juga dalam rangka menjadikan maslahat jamiyah bagi seluruh jamaah.
Saya mengikuti berbagai generasi kepemimpinan NU sejak muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, 1989. Di saat NU dalam posisi disingkirkan dari sumber daya kekuasaan. Di saat NU dipimpin para kiai muslihin dan sosiografis warganya yang jauh tertinggal dari sekarang. Belum banyak lapis kelas menengah NU seperti sekarang.
Meski demikian, sejarah telah membuktikan bahwa NU tidak pernah berhasil dipinggirkan. Bahkan, kini makin besar dari sisi jamaah. Juga, struktur sosial warga NU makin luas. Tidak hanya mereka yang bersumber dari tradisi pesantren, tetapi juga dari basis sosial lainnya. Sejarah membuktikan, NU bisa bertahan dalam posisi apa saja. Saat berada di lingkar kekuasaan maupun saat di luar.
Tampaknya perlu pendekatan baru dari kelompok politik strategis untuk mendapatkan dukungan politik NU. Tidak gampang untuk mengoyak-ngoyak NU dengan mengabaikan NU sebagai jamiyah. Konsolidasi pengurus NU yang dikemas dalam halalbihalal di Semarang adalah ”kode keras” agar kelompok politik strategis di negeri ini tidak memandang enteng kepemimpinan NU sekarang. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: