Cheng Yu Pilihan Peneliti Indonesia di Tiongkok Anna Lu Li: Bai Wen Bu Ru Yi Jian

Cheng Yu Pilihan Peneliti Indonesia di Tiongkok Anna Lu Li: Bai Wen Bu Ru Yi Jian

Cheng Yu Anna Lu Li --

MASIH terdapat beragam kesalahpahaman di tengah masyarakat Indonesia dan Tiongkok. 

Untuk menyebut salah satunya: bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama, Tiongkok masih dianggap sebagai negara yang anti agama. Ini karena sejak 1949, Tiongkok dipimpin oleh partai komunis. Dan komunis, di mata banyak sekali orang Indonesia, dipandang sebagai ajaran yang anti agama, anti Tuhan, dan/atau bahkan semua hal yang berkaitan dengan ranah spiritual. 

Sebaliknya, bagi tidak sedikit masyarakat Tiongkok, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang anti dan tidak ramah terhadap hampir segala hal yang berkaitan dengan China –baik China sebagai bangsa (Tionghoa), maupun China sebagai negara (Tiongkok). Tentu Anda sudah tahu apa alasannya. 

Padahal, sejak mengejawantahkan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan pada 1978, kebijakan keagamaan di Tiongkok sudah jauh lebih moderat ketimbang dengan yang diterapkan sepanjang 1966 hingga 1976 yang memang ekstrem.

Di Indonesia pun demikian. Sejak Reformasi 1998, kebijakan pemerintah terhadap Tionghoa dan Tiongkok sudah tidak sesaklek 32 tahun masa Orba. 

Makanya, untuk menghindari mengakarnya mispersepsi, diperlukan adanya orang-orang Indonesia dan Tiongkok yang bisa menjelaskan kepada masyarakat setempat mengenai perubahan-perubahan tersebut. 

Untung di Tiongkok kini ada Anna Lu Li 卢李倩倩, yang rajin meneliti dan mengedukasi publik Tiongkok seputar Indonesia. 

Anna kelahiran Hunan, provinsi di mana Mao Zedong dilahirkan. Sehabis lulus S-1 jurusan bahasa Indonesia di Guangxi University for Nationalities, dia melanjutkan S-2 jurusan Kajian Sastra dan Budaya di Universitas Airlangga, lalu menyelesaikan S-3 di Universitas Indonesia. 

"Saya merasa berjodoh dan nyaman dengan Indonesia. Saya ingin menghabiskan hari tua saya di Indonesia,” ujar Anna, ketika ditanya mengapa tertarik mempelajari Indonesia.

Ternyata, kesalingpahaman akan terbentuk seiring dengan makin mendalamnya pengetahuan kita terhadap yang liyan. ”Tak kenal, maka tak sayang,” kalau kata pepatah Indonesia.

Masyarakat Indonesia dan Tiongkok akan bisa saling memahami jika kian banyak orang-orang dari kedua negara yang bisa menginjakkan kaki dan melihat langsung kondisi riil masing-masing. 

Sebagaimana dinyatakan adagium dalam kitab Han shu (汉书), ”百闻不如一见" (bǎi wén bù rú yī jiàn): mendengarkan seratus kali, akan kalah akurat dengan menyaksikan sendiri meski hanya sekali. 

Anna adalah bukti nyatanya. (*)

 

Sumber: