Kebangkitan Kesehatan dari Lirang

Kebangkitan Kesehatan dari Lirang

Ilustrasi dunia kesehatan di Lirang, Maluku Barat Daya.--

KARENA kesulitan untuk melahirkan, Adrasina Nusamara, seorang ibu di Pulau Lirang, Maluku Barat Daya, terpaksa dibawa dengan menggunakan speedboat dari Lirang ke Pulau Atauro, Timor Leste. Adrasina terlebih dahulu diangkat dengan perahu ke Atauro, kemudian diterbangkan ke Dili. 

Setelah ditangani RS di Dili, Adrasina dan bayinya selamat. Mereka pun diizinkan pulang ke Lirang dengan menggunakan perahu motor. Semua biaya perawatan bagi Adrasina dan keluarga termasuk angkutan pesawat gratis dan ditanggung pemerintah Timor Leste (Kompas, 9 Maret 2020). 

Kenyataan pahit saat itu menunjukkan ketidakmampuan ibu pertiwi menjaga ”putra”-nya. Bagaimana wajah Indonesia di mata dunia saat itu? Tentunya kedaulatan Indonesia dalam bidang kesehatan menjadi sebuah pertanyaan besar.

Kabar baik datang pada 2023, menurut data dari BPJS Kesehatan Cabang Ambon, jumlah warga Maluku Barat Daya yang menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) per Maret 2023 sebanyak 89.172 atau 100 persen dari jumlah penduduk. Maluku Barat Daya berada di daerah terluar dan minim fasilitas. 

Namun, pembangunan aspek kesehatan perlahan menjadi prioritas.  Saat ini rujukan terdekat untuk pelayanan kesehatan ada di Kota Kupang dan pemerintah daerah membiayai transportasi dan biaya rumah sakit sehingga pasien tidak terbebani. Perlahan tapi pasti, masyarakat Lirang tidak lagi perlu berobat ke negara tetangga seperti yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. 

Lantas, kita berpikir, apakah fakta di atas menunjukkan sistem kesehatan di Lirang sudah mulai berjalan dengan benar dan memenuhi standar? Tentu jawabannya belum. ”Telah dilakukan tindakan” dan ”telah dilakukan tindakan dengan benar” adalah dua hal yang amat berbeda. Kita tidak bisa menjadikan kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur keberhasilan sistem kesehatan kita.  

Bupati Maluku Barat Daya mengakui, infrastruktur dan SDM tenaga kesehatan belum mencukupi. Beliau meminta dokter spesialis ditugaskan di sana karena saat ini belum tersedia satu pun dokter spesialis di sana. Hal itulah yang menjadi akar permasalahan sesungguhnya di Lirang.

Kualitas layanan kesehatan adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar karena menyangkut kehidupan manusia. Presiden Jokowi berulang-ulang menyampaikan keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, faktanya, saat ini masih banyak polemik terkait sistem kesehatan nasional di Indonesia. 

Dalam sebuah diskusi publik dengan tema Outlook JKN: Satu Dekade Jaminan Kesehatan Nasional, Sudahkah Sesuai Harapan? pada awal 2023, direksi BPJS Kesehatan menyampaikan adanya potensi defisit pada 2024. Potensi tersebut muncul karena adanya kemungkinan peningkatan biaya manfaat yang harus dibayarkan BPJS kesehatan, sementara iuran per kapita menurun. 

Hal itulah yang membuat RS dan dokter ”garuk-garuk kepala” sejak era BPJS. Konsepnya adalah money follow program, bukan sebaliknya, program follow money. Para dokter dipaksa dalam sistem untuk membatasi pelayanan karena RS tidak boleh rugi. 

Sebagai contoh di RS tipe B pemerintah, bagaimana menghitung biaya perawatan pasien serangan jantung yang disertai dengan krisis hipertensi yang biaya riilnya seharga Rp 14 juta, tetapi klaim dari BPJS menunjukkan angka Rp 7 jutaan? Bagaimana dokter saraf merawat pasien stroke perdarahan kronis yang memerlukan waktu dirawat lama dengan biaya total paket stroke seharga Rp 6 juta? Bagaimana dokter bedah mengerjakan operasi radang usus buntu ringan dengan biaya total klaimnya seharga Rp 4 juta? 

Biaya total klaim yang dimaksud adalah total biaya yang dibayarkan BPJS kepada provider (RS), termasuk biaya obat, laboratorium, pemeriksaan penunjang, pembedahan, jasa tenaga medis, dan biaya perawatan selama rawat inap di RS. Masih banyak pertanyaan bagaimana lainnya yang menjadi tanda tanya bagi kami para tenaga medis yang belum terjawab sampai saat ini. 

Presiden Soekarno menetapkan hari lahir Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional di Indonesia. Boedi Oetomo lahir dari tangan para dokter yang bertujuan menyadarkan masyarakat Indonesia dan berupaya meningkatkan taraf hidup lewat pendidikan dan kesehatan dari tangan penjajah. Boedi Oetomo berfokus dalam hal gerakan sosial, bukan kekerasan. Hal itulah yang menjadikan dasar pergerakan nasional dan memperoleh dukungan dari masyarakat Indonesia. 

Saat ini para dokter di era BPJS juga berjuang untuk masyarakat Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia (kurang lebih 200 juta jiwa) memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah (RSUD), baik itu di Jawa maupun luar Jawa. Namun, tahukah masyarakat bahwa para dokter spesialis yang bekerja di RSUD selama tiga bulan awal hanya mendapatkan gaji pokok Rp 2,7 juta–Rp 4,8 juta per bulan? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: