MTQ Ke-30 Jatim 2023 dan Raker Apkesi: Tantangan Mengubah Wajah Wisata Religi di Kota Pasuruan

MTQ Ke-30 Jatim 2023 dan Raker Apkesi: Tantangan Mengubah Wajah Wisata Religi di Kota Pasuruan

PAYUNG Madinah Kota Pasuruan yang diserbu masyarakat.-Lailiyah Rahmawati-

Dengan kepercayaan diri luar biasa sebagai kota kecil dan jumlah APBD yang kecil, Apeksi dan MTQ XXX Jawa Timur adalah kesempatan besar bagi Kota Pasuruan menjual habis-habisan jasa wisatanya. Anggaran besar yang disiapkan untuk dua agenda itu akan menjadi percuma jika tidak dibersamai dengan pengemasan marketing dan penataan lokasi di sekitar wisata religi.

Diperkirakan akan ada sekitar 1.500 orang sebagai delegasi peserta MTQ XXX Jawa Timur. Sementara itu, raker Apeksi akan dihadiri kepala-kepala daerah se-Indonesia. Wajah Kota Pasuruan dipertaruhkan di dua event ini. Dua event tersebut menjadi tantangan bagi penyusunan konsep marketing pariwisata daerah. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk memoles wajah Kota Pasuruan supaya lebih meyakinkan sebagai destinasi wisata religi selain kota-kota wali lainnya? 

 

Pertama, Akses Tambahan 

Akses menuju makam KH Abdul Hamid terbilang sempit. Hanya cukup untuk dua orang. Sebelum era Wali Kota Gus Ipul, kondisi di gang itu kian sempit dengan pedagang kaki lima. Mau tak mau, Pemkot Pasuruan memang perlu menambah jalan menuju makam KH Abdul Hamid selain akses utama saat ini. Hal itu bertujuan memberikan kenyamanan kepada peziarah dan mengundang lebih banyak peziarah.

 

Kedua, Lokasi Parkir dan Penataan PKL 

Lokasi parkir di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan menjadi hal urgen saat ini. Keberadaan payung Madinah yang memakan badan jalan yang sebelumnya bisa digunakan sebagai area parkir dan jalan raya otomatis harus dipikirkan solusinya oleh Pemkot Pasuruan. Pemkot harus mencari lokasi parkir pengganti. Pemkot sempat merencanakan lahan eks kantor dispenda yang kini menjadi kantor Tourisme Information Centre (TIC) sebagai lokasi parkir tambahan. Sayangnya, itu urung dilakukan. 

Tidak ada lahan kosong lagi di sekitar alun-alun. Memperkecil ukuran alun-alun juga tidak mungkin karena lahan terbuka hijau itu hanya berluas 1,9 hektare. Kecuali, menggunakan beberapa alternatif. Misalnya, menata ulang pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan di sekitar Jalan Sumatera, Jalan Belitung, atau memasukkan seluruhnya ke Pasar Poncol. 

Lahan yang selama ini digunakan PKL berjualan di alun-alun bisa dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Itu memerlukan keputusan yang berani karena jelas akan menimbulkan perlawanan. 

Tapi, jika sosialisasi dan pendekatan dilakukan jauh hari dengan diiringi jaminan pembeli tetap akan datang, saya rasa penataan ulang PKL tidak akan menimbulkan perlawanan. Tidak bisa dimungkiri, keberadaan PKL selalu menghadirkan dua mata keping uang. Di satu sisi, sebagai lambang perekonomian rakyat. Di sisi lain, menghadirkan masalah dalam penataan kota. 

Opsi lainnya, pemkot harus berani membebaskan lahan di sekitar mal pelayanan publik untuk dimanfaatkan sebagai akses tambahan menuju makam KH Abdul Hamid sekaligus sebagai lahan parkir tambahan. Road map pembangunan kampung tematik religi tidak cukup hanya dengan membangun gapura. Lebih dari itu, perangkat dinas harus memiliki inovasi panjang supaya rencana pembangunan selalu memiliki dampak menyelesaikan persoalan ekomomi dan sosial masyarakat. 

 

Ketiga, Payung Madinah 

Payung Madinah sebenarnya bukan hal baru untuk menarik wisatawan. Di beberapa daerah lain, keberadaan payung hidrolis itu sudah lebih dulu ada sebelum Kota Pasuruan. Hanya pemasangan lokasinya yang berbeda. Di Kota Pasuruan payung itu dipasang tepat di depan halaman Masjid Jamik Al-Anwar. Itu tugas Pemkot Pasuruan supaya payung Madinah tidak dianggap hal yang biasa bagi tamu-tamu dari luar kota itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: