Puri Tampaksiring (1): Ditata dengan Pola Catus Patha Agar Dekat dengan Masyarakat

Puri Tampaksiring (1): Ditata dengan Pola Catus Patha Agar Dekat dengan Masyarakat

Gerbang halaman depan Puri Tampaksiring yang dekat dengan keramaian. -Julian Romadhon-

HARIAN DISWAY - Puri Tampaksiring, Gianyar. Kompleks bangsawan Bali sekaligus istana kerajaan Tampaksiring. Di puri tersebut beberapa keluarga bangsawan berdiam. Melihat keseluruhan kompleks puri sembari meniti jejak sejarah Tampaksiring. Beberapa bangunan memiliki fungsinya masing-masing.
 
Siang di Bali cukup terik. Tapi panasnya Pulau Dewata lebih sejuk daripada teriknya Kota Surabaya. Didampingi oleh tim Alit Indonesia, Ardiansyah, Putu Marsellia Putri dan Dewa Ayu Diah Laksmi, kami memasuki kompleks Puri Tampaksiring. "Sebenarnya puri ini tidak dibuka untuk umum. Juga tak sembarang orang boleh masuk. Harus izin dulu. Sudah kami lakukan jauh-jauh hari," ujar Laksmi.
 
Seperti akar katanya, pur, yang berarti benteng dibatasi tembok tebal dan tinggi. Begitulah tampak luar Puri Tampaksiring, di Jalan Ir Soekarno Gianyar. Pintu masuknya menghadap arah barat. Di depan adalah jalan raya cukup padat. Kendaraan lalu-lalang, para penjaja jajanan untuk anak sekolah.
 
Di sebelah selatan, terdapat perempatan. Seperti puri-puri di Bali, letaknya selalu dekat dengan perempatan di kanan-kiri puri. Tapi saya tak begitu mengamati adanya perempatan di sisi utara. Karena terhalang begitu banyak kendaraan.
Gapura bentar menuju Puri Sarengkangin, di dalam kompleks Puri Tampaksiring. -Julian Romadhon-

 
Setelah menunggu sejenak sambil mengamati tampsk luar, akhirnya kami disambut Cok Gede Agung Semare Putra, perwakilan keluarga puri. Ia cukup ramah. Posturnya tinggi, tegap, dengan sarung ala Bali di pinggang. Cok Putra mempersilakan kami masuk dengan mengikutinya.
 
Di halaman puri cukup sejuk. Dua pohon leci berbatang putih berdiri. Besar dan rimbun. Sangat luas. Rumput alang-alang cukup tinggi. Beberapa ekor ayam dalam sangkar ada di halaman itu. Dalam bayangan saya, menikmati angin semilir di bawah pohon leci tentu sangat nikmat. Apalagi dengan secangkir kopi.
 
Kami memasuki ruang tengah. Melewati gapura puri, lalu masuk di halaman tengah. Di situ terdapat beberapa bangunan. Sisi kiri kolam buatan dari terpal, yang diisi ikan-ikan hias. Terdapat gapura lagi sebelum masuk ke sisi dalam. Setelah melewatinya, terdapat tiga bangunan besar. 
 
Sisi kiri sebuah bangunan yang tampak lawas. Berisi puluhan foto-foto Bung Karno dan keluarganya. Di bagian kanan, terdapat balai dengan hiasan seperti merak. "Ini yang membedakan arsitektur puri dengan arsitektur rumah Bali biasa. Kalau balai seperti ini di puri, tiangnya cukup banyak," kata Laksmi.
 
"Juga tidak boleh sembarang orang bisa naik ke balai itu. Harus izin dulu pada keluarga puri," ujar Putu. Cok Putra yang mendengar percakapan kami mengangguk. "Betul. Namanya Bale Pemanasan. Itu tempat yang sakral bagi kami. Ruang untuk melaksanakan berbagai upacara di lingkungan kerajaan. Jadi, istilahnya harus permisi dulu. Agar kami tahu keperluannya," ungkapnya.
 
Ia menggelar karpet di Gedong Gede. Yakni balai yang terletak di ujung. Fungsinya, sebelum dilangsungkan upacara di Bale Pemanas, persiapannya dilakukan di balai tersebut. Upacara potong gigi, misalnya. Seseorang yang akan mengikuti upacara tersebut dipingit atau berdiam beberapa lama di Gedong Gede.
Bale Gedong tempat pertemuan dan tempat persiapan upacara. -Julian Romadhon-

 
Setelah usai, baru diperbolehkan mengikuti potong gigi. "Gedong Gede ini adalah bangunan yang memiliki tiang paling banyak. Total ada 16. Di dalam ruangan ada 8, di luar ada 8 juga," ujar pria 52 tahun itu. 
 
Ia menyebutkan bahwa bangunan puri selalu berada pada posisi Kaja-Kangin. Yakni pada sudut persimpangan jalan, yang merupakan pusat dari aktivitas masyarakat. "Kalau Anda melihat di depan tadi, ada perempatan. Dekat pasar juga. Menunjukkan bahwa pada masa lalu, Kerajaan Tampaksiring cukup dekat dengan masyarakat," ujarnya.
 
Pola itu disebut pempatan agung atau catus patha. Di sekitar puri pasti terdapat lapangan dengan pohon yang rindang, serta Bale Banjar atau balai pertemuan untuk masyarakat.
 
Tak berapa lama hadir keluarga Puri Tampaksiring yang lain. Yakni Cokorda Agung Gede Pariwirta dan Tjokorda Gede Cipta Pemayun. Ketiganya secara bergantian menjelaskan tentang seluk-beluk Puri Tampaksiring. Bahwa kompleks tersebut terbagi menjadi tiga bagian. Secara keseluruhan, terdapat 17 KK yang berdiam. Semuanya adalah keluarga Kerajaan Tampaksiring.
Cokorda Agung Gede Pariwirta, salah satu perwakilan keluarga kerajaan Tampaksiring. -Julian Romadhon-

 
Ketiganya masing-masing berdiam di tiga area puri. Yakni Puri Sarengkau, Puri Rangki dan Puri Sarengkangin. "Yang kita tempati saat ini adalah Puri Sarengkangin. Paling banyak anggota keluarga kerajaan berdiam di sini," ujarnya.
 
Dalam sejarah, Kerajaan Tampaksiring merupakan keturunan dari Kerajaan Klungkung. Mulanya, Raja Klungkung memiliki dua orang anak. "Anak yang pertama keluar dari kerajaan untuk memerintah di Tampaksiring. Sedangkan adiknya, memerintah di Klungkung," ujar Tjok Cipta. 
Lokasi Puri Sarengkangin, di dalam Puri Tampaksiring, Gianyar. -Julian Romadhon-

 
Istana pertamanya bukan berada di Gianyar, puri yang kami singgahi. Melainkan di Pura Puncak Bukit. Lalu berpindah ke Pura Ula, di daerah Blimbing. Kemudian dipindahkan lagi ke kawasan Desa Manokaya, yang sekarang menjadi Istana Kepresidenan. "Luas areal puri ini mencapai lima hektar. Mungkin adalah puri terluas di Bali," ungkap Gede Pariwirta. 
 
Angin semilir berembus. Sejuknya menuntun kami untuk terus menatap bangunan yang penuh dengan foto Bung Karno. Ketiga perwakilan keluarga kerajaan tersebut bercerita bahwa Puri Tampaksiring menyimpan banyak kenangan tentang Sang Proklamator. Terkait pula dengan dua pohon leci di halaman depan.
 
Indeks: Jejak Soekarno di Puri Tampaksiring, baca besok...

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: