Kerisauan Prof Haedar
Ilustrasi Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir --
KETUA UMUM PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir risau dengan perkembangan politik nasional. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang disebutnya sebagai lembaga yang ”powerful” punya kekuatan besar.
Salah satu yang merisaukan adalah putusan MK terhadap perpanjangan masa jabatan anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dari empat menjadi lima tahun. Putusan itu diprotes bayak pihak karena dicurigai ada agenda terselubung di baliknya.
MK merupakan lembaga yang lahir pascareformasi. Dulu, sebelum ada MK, kewenangan sebagai penjaga demokrasi ada di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Namun, setelah reformasi, kewenangan MPR dipereteli sampai menjadi aksesori belaka. UUD 1945 sudah mengalami perombakan total melalui amandemen yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi liberal.
Kwik Kian Gie masuk barisan tokoh yang mengkritik UUD hasil empat kali amandemen yang mentransformasi UUD 1945 menjadi UUD 2004. Banyak perubahan mendasar yang membawa Indonesia menuju demokrasi liberal ala Amerika Serikat (AS). Banyak lembaga baru yang lahir dalam bentuk komisi yang punya kewenangan besar.
Di AS salah satu ciri demokrasinya, menurut Alexis de Tocqueville, adalah makin banyaknya asosiasi yang didirikan masyarakat. Selain itu, jumlah orang yang melakukan litigasi melalui pengadilan juga sangat banyak. Itu menunjukkan bahwa masyarakat percaya pada proses hukum.
AS menganut sistem liberal dengan membagi kekuasaan yang lebih banyak kepada masyarakat. Filosofinya, negara yang terlalu kuat akan menjadi diktator yang mengancam demokrasi. Sebaliknya, rakyat yang terlalu kuat akan melahirkan anarki.
AS punya sistem dua kamar, Senat dan Kongres, dengan fungsi masing-masing. Indonesia mencontohnya dengan meniru senat dan menciptakan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Namun, dalam praktiknya, lembaganya ada, tetapi perannya nyaris tidak terdengar. Anggota DPD dengan bangga menyebut dirinya senator, tetapi dalam praktiknya jauh panggang dari api.
Kwik mengatakan, dulu banyak orang pintar yang berintegritas. Sekarang banyak orang pintar, tapi tidak berintegritas. Orang-orang pintar zaman dulu bisa kuliah di luar negeri karena memang punya otak brilian. Orang-orang seperti Hatta, Sjahrir, Soepomo, Iwa Koesoemasoemantri, dan lain-lainnya adalah orang-orang berotak cemerlang yang berkesempatan kuliah di luar negeri dan membangun jaringan luas.
Mohammad Hatta dalam memoar tiga jilid berjudul Untuk Negeriku menceritakan bagaimana ia membangun jaringan dengan sesama rekan pergerakan kemerdekaan dari seluruh penjuru dunia. Hatta, antara lain, sudah membangun jaringan dengan aktivis kemerdekaan India seperti Nehru. Hatta juga membangun jaringan dengan anak-anak muda pergerakan dari berbagai negara Asia dan Afrika.
Dari persinggungan dengan budaya Eropa dan budaya berbagai negara dunia ketiga, para tokoh bangsa itu kemudian menyusun dasar negara yang menjadi fondasi pemerintahan. Perdebatan mengenai dasar negara antara nasionalisme yang demokratis dan Islam berjalan dengan keras dan alot. Namun, pada akhirnya dicapai konsensus untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara nasionalis yang berlandaskan pada Pancasila.
Indonesia yang baru merdeka tidak menganut sistem demokrasi liberal one person one vote, tetapi menganut sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Secara implisit di situ disebutkan bahwa rakyat yang masih belum tinggi status pendidikannya belum saatnya untuk diberi kebebasan liberal.
Sistem perwakilan –dengan presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris– dianggap sebagai perwujudan demokrasi kerakyatan yang bijaksana dan penuh hikmah. Sekarang presiden menjadi mandataris dan petugas partai.
Memang kemudian terjadi berbagai penyelewengan. Soekarno menerjemahkan sila keempat dan kemudian menginterpretasikannya sebagai demokrasi terpimpin yang membawanya menjadi presiden seumur hidup. Soeharto melakukan koreksi terhadap Orde Lama. Namun, ia kemudian terperosok juga menjadi otoriter dan menerjemahkan Pancasila sebagai demokrasi sesuai dengan keinginannya sendiri. Demi stabilitas untuk pembangunan, demokrasi dikorbankan.
Gerakan reformasi membongkar dasar-dasar sistem demokrasi Pancasila itu. Beberapa amandemen dilakukan secara serampangan. Di awal reformasi bahkan sempat muncul ide untuk mengubah NKRI menjadi negara federal seperti negara serikat zaman Belanda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: