Kasus Pungli di KPK, Ada Macan Dalam Tubuh Macan
Ilustrasi pegawai KPK tidak dipecat meski sudah melakukan pungli.--
Tumpak Panggabean: ”Dewas KPK tidak punya wewenang memecat orang atau pegawai. Tidak ada wewenang itu.”
BACA JUGA:Prof Denny Indrayana Sebut Skenario Pamungkas Istana: KPK Segera Tetapkan Anies Baswedan Tersangka
Kewenangan memecat ada di Inspektorat KPK. Berdasar peraturan, dewas menangani etik pelanggaran moral. Inspektorat menangani pelanggaran disiplin. Pemecat pegawai KPK adalah Inspektorat KPK.
Tumpak sudah mendorong dugaan pelecehan seksual M ke proses penegakan disiplin di Inspektorat KPK. ”Kini masih diproses. Apakah M akan diberhentikan atau dipecat, saya enggak tahu,” ujar Tumpak.
Seperti diberitakan, M diduga memeras istri tahanan KPK, sebut saja Bunga. Suami Bunga adalah satu di antara delapan tersangka korupsi jual beli jabatan di Kabupaten Pemalang. Perkara korupsi itu disidik KPK Agustus 2022. Para tersangka ditahan. Sejak itulah Bunga membesuk suami, ketemu petugas M.
Dari pertemuan itu, M dan Bunga sering telepon. M di Jakarta, Bunga di Pemalang. Sampai belasan kali. Salah satunya video call seks. Bunga menunjukkan kelamin via video call.
Setelah diperiksa Dewas KPK, M berkilah, ia dengan istri sedang bermasalah. Maka, ia begitu. Sebaliknya, Bunga mau begitu lantaran khawatir suami yang ditahan bakal dipersulit.
Perkara tersebut bisa disebut pemerasan seksual. Tapi, bisa juga disebut perselingkuhan karena Bunga mau. Mana yang benar? Cuma Dewas KPK yang tahu. Sebab, dewas sudah menyidik kasus itu sejak akhir Januari 2023. Kemudian, memutuskan sanksi etik terhadap M, seperti tersebut di atas, pada 23 April 2023.
M tidak dipecat. Dikhawatirkan bisa jadi preseden buruk di masa mendatang. Petugas registrasi Rutan KPK lainnya bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih, di masa mendatang lantaran sanksinya ringan.
Kriminolog Italia, Cesare Beccaria (15 Maret 1738–28 November 1794) mencetuskan rational choice theory (RCT). Teori itu jadi rujukan kriminolog hingga sekarang. Memang, muncul kritik di sana sini pada teori tersebut. Tapi, belum ada antitesis.
Rational choice theory menyebutkan, individu memilih untuk melakukan kejahatan berdasar pemikiran dan perhitungan rasional atau logis. Yakni, keuntungan maksimal, kerugian minimal.
Jelasnya, sebelum bertindak, penjahat memperkirakan atau mengalkulasi hasil dibandingkan hukuman. Jika hasil besar, hukuman ringan, kejahatan akan dilakukan. Jika sebaliknya, dibatalkan.
Itu sudah otomatis ada di otak setiap penjahat menurut RCT. Kian berpengalaman, penjahat kian cepat mengalkulasi untung dan rugi. Dalam hitungan detik. Sebelum ia mengambil keputusan melakukan kejahatan.
Sebab itu, muncul istilah deterrent effect dalam ilmu hukum pidana. Efek jera. Hukuman yang sebanding dengan tingkat pelanggaran hukum bakal menimbulkan efek jera bagi penjahat itu sendiri dan penjahat lain.
Sanksi buat M di atas bisa berbahaya buat KPK. Lembaga hukum terhormat, yang selama ini sangat ditakuti para pejabat publik. Ibaratnya, KPK adalah macan. Tapi, di dalam tubuh macan itu ada macan lagi. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: