Militer dan Sipil
KPK ungkap Kepala Basarnas seting proses lelang dan terima uang dari sana.-pmj-
Begitu pula di Kementerian Pertahanan. Menterinya sudah berkali-kali dari sipil seperti Matori Abdul Djalil dan Mahfud MD (era Gus Dur). Namun, sejumlah dirjennya ditempati militer aktif.
BACA JUGA:Purnawirawan Jenderal Sibuk Somasi
BACA JUGA:Negara Pemenjara
Penempatan militer aktif di sejumlah lembaga di luar struktur TNI itu ternyata memiliki payung hukum. Jabatan-jabatan yang disebut di atas, berdasar UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, diporbolehkan untuk ditempati anggota TNI aktif.
Pasal 47 UU 34/2004 menyebutkan, ada sepuluh jabatan di luar TNI yang bisa diduduki prajurit TNI. Selain yang telah disebut di atas, ada Sekmil Presiden, Badan Intelijen Negara, jabatan di Kemenko Polhukam, Badan Sandi Negara, BNN, dan MA.
Namun, berdasar catatan KontraS yang pernah dirilis pada 2021, ternyata sejumlah perwira aktif juga rangkap jabatan di sipil. Ada tujuh perwira tinggi yang merangkap komisaris BUMN. Juga, ada tiga perwira yang aktif di kementerian.
Memang, jika dibandingkan dengan era Orde Baru, militer yang menduduki jabatan sipil sekarang sudah jauh berkurang. Di era Presiden Soeharto, perwira aktif masuk di hampir semua lini.
Saat ini, walaupun militer aktif sudah dibatasi di jabatan sipil, masih ada juga yang belum satu frekuensi di antara petinggi lembaga. Itu kemudian menimbulkan masalah. Termasuk langkah KPK yang menetapkan marsekal bintang tiga sebagai tersangka.
Kepala Basarnas Henri Alfiandi diduga melakukan tindakan korupsi di lembaga sipil. Namun, karena anggota militer aktif, ia harus diproses melalui peradilan militer.
Polemik itu muncul karena belum sinkronnya antara UU satu dan UU yang lain. Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, dalam UU No 31 Tahun 1997, segala tindakan pidana anggota militer harus diadili di peradilan militer. Sementara itu, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses di peradilan umum, sedangkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana militer diproses di peradilan militer.
Namun, sebelum ada revisi UU 31/1997, semuanya masih dilakukan di peradilan militer. Sampai saat ini, belum ada pengganti atau revisi UU 31/1997. Itulah yang menjadi dasar mengapa Henri Alfiandi dan anak buahnya harus diproses di peradilan militer.
Seandainya para anggota DPR sigap melakukan revisi UU 31/1997 untuk disinkronkan dengan UU 34/2004 tentang TNI, ketegangan KPK dan TNI tidak akan muncul. Tentu hal tersebut menjadi PR buat para wakil rakyat.
Selain itu, evaluasi penempatan anggota TNI di jabatan sipil yang akan dilakukan Jokowi seharusnya juga makin menegaskan garis batas TNI aktif dan sipil.
Artinya, bila memegang jabatan sipil, anggota militer harus sudah purnawirawan. Yang memilih jabatan sipil wajib pensiun dari militer terlebih dahulu.
Cara itu juga bisa mendorong TNI makin profesional. Dan, akhirnya akan berdampak positif bagi perkembangan TNI. Tentu juga akhirnya positif untuk ketahanan negara. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: